Saturday, November 23, 2013

Gravity's Spinoff, Aningaaq. Seven Minutes from Earth to Space (2013)

Gravity jelas salah satu film paling remarkable tahun ini. Bahkan bisa disebut sebagai film terbaik yang rilis di 2013. Saya biasanya bukan fans dari film sci-fi, tapi Gravity jelas film sci-fi paling menarik yang pernah saya tonton. Kombinasi pengolahan skrip yang digabungkan dengan teknik sinematik dan akting yang ciamik, membuat film ini saya sebut sebagai masterpiece dari Alfonso Cuarón (baca review lengkap saya disini).

Lalu beberapa hari lalu saya menemukan artikel mengenai nominasi Academy Awards untuk kategori Live-Action Short, dan salah satu yang diunggulkan adalah Aningaaq, spinoff dari Gravity. Akhirnya baru hari ini saya berkesempatan untuk menyaksikan film ini, dan hasilnya saya merinding.

Aningaaq (written and directed by Jonas Cuarón)


Melihat dari setting film ini yang ada di suatu tempat berselimut salju, tentunya janggal jika film ini berkaitan dengan Gravity yang settingnya di luar angkasa. Tapi rupanya film ini justru punya hubungan erat dengan Gravity. Membuat saya 'ber-aaah-ohhh ria' ketika menyaksikannya. Bagi yang sudah menonton Gravity, jelas harus menyaksikan Aningaaq dan menemukan koneksi menarik antara kedua film ini. 

Satu hal lagi yang membuat saya kagum, bahwa film ini ditulis dan disutradarai oleh Jonas Cuarón, co-writer dari film Gravity itu sendiri.Saya tidak habis pikir bagaimana dia bisa terpikir untuk membuat film ini, sebagai pelengkap dari Gravity

Aningaaq mungkin seperti tujuh menit yang remeh dan tidak penting. Tapi justru film ini punya peran yang begitu besar untuk pada ending Gravity. Hanya tujuh menit yang sederhana dalam universe yang begitu luas dan tak terbatas.  




Monday, November 11, 2013

Third Star (2010) : A Fun Camping Trip

“The sickness is mine but the tragedy is theirs” –James



Membuat film tentang orang yang sekarat bukanlah hal yang mudah. Kalau tidak berhati-hati, maka film akan menjadi over melodramatic, berisi orang-orang berlinangan air mata dan perpisahan yang cheesy. Jenis film yang saya hindari. Namun berbeda dengan Third Star, yes it still tear-jerker movie, tapi setidaknya film ini tidak masuk dalam kategori menye-menye yang membuat saya geli ketika menyaksikannya.

Third Star is a feature film debut by Hattie Dalton, Brits director who was once winning a BAFTA award. She collected the most promising young Brits actors for played as four best friends in Third Star. As a simple explanation, Third Star is a movie about camping trip, but it wasn’t an ordinary camping trip. It was a last wish of James Kimberly Griffith (Benedict Cumberbatch) who terminally ill because of cancer. He want to escape from ‘his pitying mob’ a.k.a his family, because they – and also himself – know that he can’t make any longer because of the illness. So he summoned his best friends to accompanied him on a trip into Barafundle Bay, James most favorite place in the world. Davy (Tom Burke), unemployment who dedicated his time to take care of James. Bill (Adam Robertson), a fun-loving bloke who got into problematic relationship and it sucked the live out of him. And the last is Miles (J.J Feild), James closest friend, who had kept away from him when he got sick.

It was a fun trip. They shared dirty jokes and laughed about it. They also were fooling around acted like children. Dalton menampilkan perjalanan ini dengan begitu drama-ish, with soft colors, sun-kissed and blurred vision. Nothing extraordinary. Di pertengahan film, lack of experience dari sutradara mulai terasa. Adegan demi adegan terkesan lepas tidak terarah. Adegan yang seharusnya menjadi metafora dan dilengkapi karakter tambahan justru terkesan pointless. Tapi kekurangan itu tertolong dengan dialog cerdas serta chemistry yang meyakinkan dari keempat aktor muda tersebut.

Miles (Feild), Bill (Robertson), James (Cumberbatch), Davy (Burke)


Cumberbatch was the star of all four. James wasn’t an optimist ill person. He becomes egomaniac who does tend to speak harshly with his friends. His bitterness comes along with the feeling when he realized that his life become so meaningless with so much pain. He feel disappointed with his friends, because he thought they weren’t living the life to the fullest. He said, “I’d take any one of your pointless consumer-f*cker lives.” Yes, Cumberbatch got all the clever lines in the movie. My favorite line of his is, “All those daydreams become fantasies rather than possibilities.” Cumberbatch really change from manipulative-space-terrorize in Star Trek into sick-person-with-sharp-tongue.

Selain Cumberbatch, Burke juga memberikan acting yang menarik. Davy adalah figur yang memegang tanggung jawab disini. Ia tidak pernah pergi dari sisi James. His caretaker position was well played. He was the one who worried about the tent when it burned because of the fireworks, and about the food to make sure that James could go through the trip. He holds himself back with all the doofus around him. He had to watch James and his two friends so they could reach the bay safe and sound. But, with his ‘motherhood’ comes funny things, like the lines he said after the tent got burned and they had to sleep in one tent. Davy said, “I got my knife with me, so if one of you start going ‘Brokeback’, I’ll start going ‘Rambo’. Hilarious.

Dalton mampu menyeimbangkan aspek komedi lewat dialog dan perilaku kekanak-kanakan keempat karakter, dengan unsur drama yang berasal kondisi James dan kehidupan yang dialami ketiga sahabatnya. Cara Dalton menampilkan persabahatan keempat karakter dalam film ini menarik. Davy, Miles dan Bill berkali-kali harus menjadi sasaran sindiran James. Meskipun ketiganya muak pada James, tapi pada akhirnya mereka tetap bisa tertawa bersama, tanpa harus prosesi permintaan maaf yang chessy dan unmanly.


Lepasnya fokus pada pertengahan film terbayar 20 menit menjelang akhir film. James akhirnya menjelaskan maksud dari camping trip tersebut. Permintaan terakhir James kepada ketiga temannya jauh lebih besar dari sekedar menemaninya melihat pantai. James menginginkan kesempatan terakhir untuk merasakan perjuangan mengatasi rasa takut. Mungkin beberapa orang akan merasa akhir film ini menyalahi moral, tapi itu adalah salah satu adegan ending film yang menarik. It was probably unlikeable but it was served in modest way, not too much talking and arguing. Simple but intense. Some people might see the ending as a tragedy but if you see from James’ is just his way to win his life back. It was his way to winning over something, like illness.


ps: another favorite lines from Third Star,

"So I raise a morphine toast to you. And, should you remember that it's the anniversary of my birth, remember that you were loved by me and you made my life a happy one. And there's no tragedy in that." -James

Saturday, November 2, 2013

Thor: The Dark World (2013): Bigger, Funnier But Not Really Better than the First

Marvel have a receipt of ‘How to make box office superhero movies’, and it is a mix between spectacular actions, impressive visual effect, grande adventure and some of good humors, and those elements include in the newest Marvel superhero franchise, Thor: The Dark World. Directed by Alan Taylor (directing several episodes of Mad Men, Game of Thrones, and The Sopranos), this sequel is bigger, funnier and more sci-fi than the first one. But is it really better than the first one? Hmm, let me do some descriptions here.




Sequel Thor ini jelas jauh lebih besar dibanding film pendahulunya. Marvel punya ambisi untuk menjadikan film ini sebanding dengan The Avengers dan Iron Man 3. Ini terlihat jelas dari masalah yang harus diselesaikan Thor (Chris Hemsworth), bukan hanya bumi, kini Thor harus menyelamatkan tidak hanya satu, melainkan sembilan galaksi! Death Elves (sound like Tolkien goes galactic) yang dipimpin oleh Malekith (Christopher Eccelston) mengancam hendak menghancurkan Nine Realms (sembilan galaksi) dengan Aether, a source of destructive and dark power. Sayangnya ambisi Marvel tidak sebanding dengan plot yang kemudian dikembangkan.

Jika mengikuti apa yang terjadi pasca The Avengers, dimana seorang Tony Stark saja kemudian mengalami perubahan besar baik mental dan fisik (Iron Man 3), wajar rasanya jika Thor mengalami hal yang sama. Sementara itu untuk sebuah film dengan musuh super kuat yang mengancam kehidupan di SEMBILAN GALAKSI dan berhasil menginvasi Asgard, rumah para dewa, Thor: The Dark World tidak menunjukan teror dan kengerian yang seharusnya dibawa oleh musuh sekuat Malekith. Plot yang tidak cukup kuat mendukung ambisi besar Marvel, membuat film ini tidak jauh berbeda dari film pendahulunya.
Visual effect yang dihadirkan memang jauh lebih baik dibandingkan film pertama. Asgard dihadirkan dengan begitu indah dan megah, sebagaimana tempat tinggal para dewa. Tempat tinggal Odin tersebut bernuansa middle earth, seperti legenda Nordic, tapi tetap high-tech, dengan dungeon glass-like-material and some kind laboratory. Detail favorit saya dalam film ini adalah perisai yang digunakan oleh tentara Asgard, yang bercahaya setiap kali ditempa senjata. Detail kecil sebagai sentuhan magis, untuk menunjukan bahwa level mereka jauh diatas manusia.

Dan bukan hanya efek visual yang jauh berkembang. Karakter-karakter yang ada pun diberikan (sedikit) keleluasaan untuk berkembang. Odin (Anthony Hopkins) seorang raja agung yang mengalami guncangan hebat, sehingga kemampuannya memimpin agak terganggu. Sif (Jaime Alexander) walaupun hanya diawal tapi cukup memberikan kesan, sebagai seorang ksatria wanita. Bahkan Frigga (Rene Russo), queen of Asgard punya kesempatan untuk unjuk gigi. Justru karakter Jane Foster (Natalie Portman) yang tidak berkembang meskipun diberikan posisi vital dalam kisah kali ini, ia tetap damsel in distress and she just has fainted repeatedly.

Thor: The Dark World ingin menampilkan perubahan pada diri Thor pasca tragedy The Avengers di New York. Hanya saja hal tersebut seperti tidak diangkat dengan benar-benar matang. We know that he changed, and also he missed his lover, Jane. But it because the movie told us, not showed to us. It might be little bit lack of emotions, even when finally he back to earth to meet Jane, it little bit dull for me. On the other hand it was good, because it make the movie less cheesy than the first one.



Mungkin yang paling mencuri perhatian adalah Tom Hiddleston. Loki’s bitterness and tongue-in-cheek humors really stealing the show. One of my favorite scenes is when Loki and Thor walk together, after the former was released from the dungeonLoki showed his ‘little brother’ character which is always annoyed the older one (watch out for cameo performance from…). His humors were written so well, and Hiddleston bring it in remarkable way. As a villain he is not really frightening, but he is unpredictable and that’s scary. He is God of Mischief with his illusion tricks, and only God knows what exactly he is planning to do. Sedangkan musuh sebenarnya, Malekith was a so-so performance by Eccleston. He is evil and the arch-enemy of Asgard but not so terrifying.

Superhero movie is incomplete without a fantastic final battle, and Taylor try to delivered it with Marvels’ way, destructive, great visual effect, physical and humors. Sebagian besar adegan pertarungan ber-setting di luar bumi, maka visual effect benar-benar diandalkan, belum lagi dengan pesawat-pesawat luar angkasa yang membuat film ini menjadi kental nuansa sci-fi dibandingkan film superhero. Like The Avengers and Iron Man 3, Thor: The Dark World get its own remarkable final battle. When Thor and Malekith fight each other and jumping between earth and other realms, it is very funny and unusual fighting scene.


Usai menyaksikan film ini saya berpikir bahwa plot dan musuh seperti Dark Elves sebenarnya bisa dikembangkan bahkan untuk sekuel The Avengers. It has bigger villain and more ambitious plans, it’s really a big potential. In the end this movie still not better than the first one, instead of darker and deeper it becomes funnier and lighter. Thanks for the good humors!


PS: Watch until the very end of the movie. It has TWO extended scenes! 

Thursday, October 10, 2013

The Ghost Writer (2010): Not-So-Stereotypical-Thriller

Sebuah film bergenre thriller tidaklah harus selalu dipenuhi dengan kejutan, aksi penuh kejar-kejaran menegangkan yang dibuat sensasional dengan musik bombastis. Film thriller bisa tampil dengan alur yang tenang, tanpa kekerasan, sleek editing, tapi tetap membuat jantung berdebar-debar, seperti yang dilakukan Roman Polanski dalam The Ghost Writer. Meski tidak ada kejutan meledak-ledak dan cutting khas a la film thrillerThe Ghost Writer memberikan suspense dan teror khas yang biasa dirasakan ketika menyaksikan film thriller.



The Ghost Writer merupakan film adaptasi dari novel The Ghost (2007) karya Robert Harris. Novel Harris sendiri dikaitkan dengan skandal politik yang menyeret nama Tony Blair dan George W Bush, tapi Polanski rasanya tidak menyutradarai film ini semata-mata untuk menyindir mantan pemimpin kedua negara tersebut, tapi untuk menunjukan kepiawaiannya merangkai kisah intrik politik menjadi suatu yang begitu menarik sekaligus penuh teror.

Sosok utama dalam film ini tak memiliki nama, hanya disebut sebagai Ghost (Ewan McGregor), a very capable and intelligent writer. This British writer is very awkward, slightly acid and very good with punchlines. Meskipun mengaku tak memahami politik, ia sepakat untuk menulis biografi mantan Perdana Menteri Inggris, Adam Lang (Pierce Brosnan). Ghost diminta untuk meneruskan pekerjaan Mike McAra, ghostwriter pendahulunya, yang tewas karena bunuh diri. Untuk pekerjaannya ini, Ghost kemudian menetap di kediaman Lang di AS, sebuah rumah pantai di pulau yang sepi. Kediaman Lang seperti tak mengenal matahari. Hujan sering turun, sementara langit, laut dan pasir sama-sama berwarna kelabu. Seakan menjadi pertanda awal bagi penonton bahwa it’s a bad business, so something very ugly is about to happenAmbience keseluruhan film sendiri dibuat begitu gelap, gloomy and depressing. Layar didominasi warna-warna monochrome, which is given daunting atmosphere for the movie. Penghuni kediaman Lang sendiri tampak tak wajar. Amelia Bly (Kim Catrall), asisten sekaligus mistress Lang yang tampak penuh rahasia. Serta Ruth Lang (Olivia Williams), istri dari Adam yang merupakan wanita cerdas tapi mulai kehilangan kedekatannya dengan sang suami.

Pekerjaan Ghost menjadi rumit ketika Lang mendapat tuduhan sebagai penjahat perang dan akan segera diperiksa oleh mahkamah internasional. Kediaman Lang jadi ramai dengan demonstran dan wartawan yang sibuk mencari berita. Ghost yang seharusnya hanya menulis biografi Lang, ikut terseret dalam skandal politik besar yang melibatkan dua negara. Ghost yang merasa bahwa skandal politik Lang ada kaitannya dengan kematian ghostwriter pendahulunya, kemudian mulai menyelidiki hubungan diantara peristiwa-peristiwa tersebut, termasuk masa lalu Adam Lang yang menurutnya mencurigakan.

Disinilah Polanski patut diacungi jempol. Ia tidak merubah Ghost tiba-tiba menjadi reporter investigatif yang pandai menemukan petunjuk dan melacak jejak. Petunjuk-petunjuk muncul seperti kebetulan, tiba-tiba hadir dihadapannya. Ghost menyelidiki semuanya tanpa terburu-buru dan begitu mengalir. Ghost meraba satu persatu petunjuk yang ada, bertanya serta percaya pada orang yang salah dan terlalu cepat menarik kesimpulan, persis seperti bagaimana amatir yang awam akan politik mencoba mendalami konspirasi politik. Petunjuk penting yang dipahami Ghost hanya satu, bahwa manuskrip awal biografi Lang adalah kunci penting dari semua kasus yang ada.

McGregor tampil dengan sangat baik dalam film ini. He could bring the wittiness and sharpness as a smart writer but also convincing as a spaced-out invisible outsider. Penampilan McGregor membuat sosok Ghost menjadi hidup. Apa yang ia rasa dan takuti seakan menular pada saya, tanpa perlu melihatnya lari tunggang langgang dikejar psikopat atau dihujani tembakan. Selain McGregor, Williams juga bersinar dalam perannya melalui emosi dan sisi rapuhnya yang menimbulkan simpati. Namun ia juga mampu menunjukan bahwa Ruth adalah wanita yang cerdas dan powerful. Hanya penampilan Brosnan yang tidak begitu memuaskan. Bermain sebagai sosok politikus yang mempesona bukanlah sebuah tantangan bagi mantan Mr.Bond yang memang penuh pesona. Namun Brosnan gagal membuat Adam Lang menjadi karakter yang menonjol. Dari awal kemunculannya dalam film, ia mudah ditebak, penonton dengan mudah menduga, he’s with the bad guys.

I think the best part of this movie is the humorsI’m very surprised when I found out that this movie is comically funny. Sangat cerdas dengan punchline-nya sekaligus tetap elegan. I found myself laughing while watching this movie, which is odd because it is a political-thriller movie, and that’s one proof that Polanski is a great director.

Pada akhirnya saya tidak peduli apakah ending film ini memuaskan atau tidak, apakah penyebab kematian McAra terungkap, atau apakah the bad guys finally get punished or whatsoever. Menurut saya The Ghost Writer adalah film yang menarik, cerdas, menghibur sekaligus memberikan ketegangan khas film thriller tanpa mengikuti stereotype film yang biasa didominasi aksi kejutan dan kekerasan. The Ghost Writer ditulis dan disutradarai dengan cerdas, dan itulah yang membuat pada akhirnya Roman Polanski is the hero. He is the one who’s going to get the applause, because he is just amazing.

PS: Here my favorite dialogue:

Ghost: Emmett must have told Lang I've been to see him.
Rycart: So what's he going to do about it? Dump you in the ocean?
Ghost: Well it happened before.
Rycart: Which means it can't happen again. He can't drown two ghostwriters, for God's sake! You're not kittens.

                                                                                                                -The Ghost Writer

Gravity (2013) : Simplicity and Masterpiece



It’s like ballet performance in space. 13 menit adegan pembuka dalam uninterrupted shot yang langsung membawa kita ke angkasa luar, dengan penampilan bumi di bawah kita, langit gelap yang bertabur bintang, dan suasana hening. Lantas perlahan terdengar suara percakapan para astronot dengan Houston (pusat kendali NASA). Dr Ryan Stone (Sandra Bullock), Matt Kowalski (George Clooney) dan Shariff (Paul Sharma), ketiganya melayang dan berputar-putar di angkasa luas.

There is some kind motion sickness feeling while I watching the opening scene. I see the shuttle space moving, the earth rotate and also the astronauts do spinning around. I feel little bit upside down sensation, just like when you are in some kind of rides at amusement park. I feel like floating in the space, like the astronauts.

Gravity merupakan film dengan setting antariksa, tanpa monster, tanpa aksi pistol laser atau teknologi masa depan. Film ini memiliki plot yang sederhana (and predictable). Tapi dengan tangan dingin Alfonso Cuarón, cerita sederhana itu mampu menjadikan dirinya sebagai salah satu kandidat kuat untuk masuk ke nominasi Best Director Academy Awards tahun depan.

Absennya teknologi futuristik dan aksi bombastis tak membuat film ini kekurangan gereget. Dengan persiapan dan pengerjaan yang begitu tekun (empat tahun pengembangan dan lebih dari satu tahun di post-production), film ini justru begitu kuat, intense dan thrilling. Perpaduan skrip yang matang, sinematografi yang cantik dan sound yang tepat membuat Gravity menjadi tontonan yang lebih dari memuaskan.

Sedikit cerita tentang pembuatan film ini. Sejak awal, Alfonso Cuarón memang menginginkan film ini bercerita tentang hal yang sederhana, dimana penonton bisa merasakan sebagai sebuah kenyataan. Bersama dengan sinematografer, Emmanuel Lubezki (The Tree of Life), Cuarón membangun film ini perlahan-lahan selama empat tahun. Gravity nyaris tidak bisa dibuat, karena teknologi yang ada tidak mampu mewujudkan visi Cuarón dan Lubezki, sementara budget yang diberikan pun tak terlalu besar. Ditengah ketidakpastian, Cuaron, Lubezki dan tim tetap bekerja menyusun film ini dengan sangat detail. Every shot, every angle, every lighting scenario, even every second had to be preordained. They even tested all technologies that existed, to look if there is something which could use in this movie. But in the end, they invented the technology.

I watched Gravity on IMAX 3D. It was amazing experience. I ducked when I saw some debris moving fast toward me. But the sound and silences are something! Hanya dengan menggunakan kombinasi suara dan keheningan mendadak, Cuarón mampu menciptakan ketegangan. Salah satu adegan favorit saya adalah ketika kapsul penyelamat yang dinaiki Stone terbuka tiba-tiba di angkasa, lalu mendadak hening, seakan semua ikut menanti apa yang terjadi dengan Stone. I even hold my breath while watching it.

Sandra Bullock as dr Ryan Stone


Selain memang unsur teknis yang luar biasa, peran Bullock dan Clooney juga menyempurnakan film ini. Sebagai veteran astronaut, Clooney mebawakan karakter Kowalski penuh pesona. He is charming, comfortable and very experienced in life and space. Tapi, spotlight dalam Gravity adalah Sandra Bullock. Meskipun ia adalah aktris cadangan (pilihan ketiga setelah Angelina Jolie dan Natalie Portman), justru Bullock  yang paling tepat untuk peran ini. Bullock menampilkan performa terbaiknya dalam Gravity, yang menurut saya pantas diganjar minimal nominasi Academy Awards mendatang. She has the charm and intelligence to bring the character. As if everything that she said or do in the movie are perfectly fit and giving the touch of midas. Dalam film ini Bullock banyak melakukan monolog, yang justru berperan besar dalam memberikan unsur dramatis dalam film.


Ada sedikit sensasi after-Life of Pi dalam Gravity. Ada selipan pesan moral mengenai life and nothingness. Tapi pesan moral ini hanya jadi pelengkap paket yang disajikan film ini. Gravity adalah sebuah masterpiece, memadukan unsur teknis yang canggih dengan skrip yang begitu well-written. Hasil ketekunan dan kengototan Alfonso Cuarón ini menjadi film yang sederhana sekaligus luar biasa megah. 

Monday, August 26, 2013

What Maisie Knew (2012) : Yes, What She Knew Exactly?

Karakter anak-anak dalam film biasanya mudah ditebak. Seperti buku yang terbuka, mereka mudah dibaca. Tapi tidak dengan sosok dalam film What Maisie Knew. Saya terus bertanya-tanya tentang gadis kecil ini sepanjang film.

(photo taken from here)

Diangkat dari novel berjudul sama karya Henry James, What Maisie Knew sebenarnya adalah film yang ditujukan pada khalayak dewasa (atau remaja) tapi mengambil sudut pandang anak kecil. Uniknya novel yang menjadi inspirasi film ini terbit lebih dari 100 tahun lalu di Inggris, pada era dimana perceraian adalah hal yang masih kontroversial. Sedangkan sutradara David Siegel dan Scott McGehee membawanya ke setting modern di Kota New York.

Sejak awal film, kita akan tahu bahwa Maisie (Onata Aprile) dicintai oleh orangtuanya, sebaliknya Maisie juga mencintai keduanya. Tetapi Susanna (Julianne Moore) dan Beale (Steve Coogan), orang tua Maisie, memiliki hubungan yang buruk. Keduanya tidak bisa berhenti bertengkar, dan bahkan tak segan mengumpat di depan anak mereka. Maisie menyaksikan dan mendengarkan banyak perdebatan diantara keduanya. Ia biasanya akan mengawasi orang tuanya di sudut ruangan atau di balik jendela, atau sekedar mendengarkan suara ayah ibunya. Ketika keduanya akhirnya bercerai, Maisie harus tinggal di dua tempat, masing-masing 10 hari di tempat ibu dan ayahnya.

Susanna adalah seorang middle-age-rocker yang tengah berusaha kembali ke panggung. Diperankan Julianne Moore, Susanna adalah punya pesona yang menonjol di tiap adegannya. Dengan penuh kasih sayang ia menghujani anaknya dengan ciuman, menunjukan betapa ia menyayangi anaknya, sekaligus seakan itu bisa menebus kesalahannya pada sang anak. Sedangkan Beale berprofesi sebagai art dealer yang sibuk bukan main dan sering bepergian tanpa jadwal yang pasti. Coogan’s Beale menjalani kehidupannya dengan humoris. Ia menjanjikan berbagai hal pada Maisie sekaligus melimpahinya dengan banyak mainan bagus, tapi ia seakan canggung berada dekat dengan anaknya. Sisi humornya seperti kedok untuk menunjukan bahwa ia bingung ketika berhadapan dengan anaknya sendiri.

Karena kesibukan keduanya, mereka memilih untuk menikah lagi agar mendapat bantuan dalam mengasuh Maisie. Susanna menikahi Lincoln (Alexander Skarsgard), a STUDLY bartender. Beale menikah dengan Margo, Scottish Maise’s ex-nanny (Joanna Vanderham). Margo sudah sangat dekat dengan Maisie, sehingga rasanya ia satu-satunya orang dewasa yang benar-benar mengurus Maisie. Sementara Lincoln, sebagai orang yang baru dikenal Maisie, justru berhasil mengambil hati Maisie dengan cepat. Maisie benar-benar menyukai Lincoln. “I love him,” that’s what she said.  



Pasca perceraian, justru Maisie malah makin sering terlantar. She will be tossed back and forth to her mom and daddy. Ia terpaksa menunggu berjam-jam untuk dijemput sepulang sekolah. Atau duduk di lobby apartemen ibunya menunggu Margo dan Beale menjemputnya. Bahkan harus menunggu di bar di malam hari sembari menunggu Lincoln selesai bekerja. Melihat Maisie yang ‘unintentionally’ abandoned oleh orangtuanya membuat bertanya-tanya kenapa Maisie sama sekali tidak mengeluh, menangis atau berteriak meminta perhatian.

Walaupun sisi emosional Maisie tidak tampak, tapi jelas ia paham ketika orang lain tengah sedih. Saat ibunya berkeluh kesah padanya, Maisie akan menenangkannya. Atau ketika Margo menangis karena hubungannya dengan Beale berantakan, Maisie akan memeluknya. Seakan ia paham betul apa yang dibutuhkan oleh orang yang sedang bersedih. Hal ini membuat kita bertanya-tanya bagaimana ia bisa memahami perilaku seperti.

Setengah durasi film berlalu, saya benar-benar berharap seseorang menyelamatkan Maisie dari mimpi buruk masa kecil ini. Pada akhirnya Lincoln dan Margo, orang tua tiri Maisie-lah yang menjadi tempatnya menemukan keluarga. Lincoln dan Margo, yang sama-sama frustasi karena merasa digunakan oleh Susanna dan Beale menjadi dekat, dan keduanya juga sama-sama peduli pada Maisie. Seperti keluarga, ketiganya menghabiskan waktu bersama. Hal yang tak pernah dilakukan Maisie bersama orang tua kandungnya.



Karakter Maisie memang jadi fokus dalam film dan Onata Aprile, gadis kecil yang memerankannya tampil dengan sangat baik. Tak banyak dialog, tapi ekspresi dan gesture nya menunjukan sisi kanak-kanak yang membuat kita bersimpati padanya. Ekspresi wajahnya yang sedang sedih atau ketakutan sembari melengkungkan bibir ke bawah, membuat siapapun yang melihatnya ikut menahan tangis. Dan ketika ia sedang mengamati tingkah polah orang dewasa di sekelilingnya, mata besarnya tampak awas sekaligus tanpa emosi, membuat kita jadi bertanya-tanya apa yang ia pikirkan.

Sepanjang film selama 98 menit, kita ikut melihat apa yang Maisie lihat. Dengan menaruh kamera setinggi mata anak-anak, Siegel dan McGehee mengajak penontonnya ikut mengamati sebagaimana Maisie memperhatikan orang dewasa di sekelilingnya. Selain itu kita berkali-kali menyaksikan heartbreaking moment, ketika Maisie harus jadi korban keegoisan orangtuanya. Dari semua hal yang dilihat dan dialami Maisie, kita sama sekali tidak memiliki gambaran apa yang sebenarnya Maisie tahu tentang permasalahan di sekelilingnya, atau apakah ia memahami perceraian orangtuanya, dan yang terpenting sebenarnya bagaimanakah perasaannya. Kita bisa menduga bahwa Maisie mungkin emotionally incapable, atau sebenarnya ia adalah pengamat yang baik. Satu hal yang pasti What Maisie Knew memberi ruang bagi penonton untuk membayangkan sejauh apa pemahaman dan bagaimana perasaan Maisie. 

Friday, August 23, 2013

Elysium (2013) : I Will Not Die Here!

(photo taken from here)

Elysium is man-made paradise for the wealthiest whose left the earth, when it condition is getting worse. It’s becoming polluted, dirty and dusty.  Melayang di luar angkasa, dengan jarak tempuh 20 menit dari bumi, Elysium menjadi mimpi semua makhluk bumi yang miskin dan kotor. Disana tak ada kematian, karena keberadaan kapsul medis yang tersedia di setiap rumah, siap menyembuhkan penyakit macam apapun bagi si kaya.

Max De Costa (Matt Damon), seorang ex-narapidana yang juga punya impian untuk menuju Elysium. Max bekerja di pabrik robot, berharap suatu saat ia bisa menghasilkan cukup uang dan meninggalkan bumi. Hingga suatu  hari Max mengalami kecelakaan kerja yang membuat sisa hidupnya tinggal lima hari. Dengan sisa hidupnya yang hanya dalam hitungan hari, Max siap melakukan apapun untuk bisa ke Elysium demi menyembuhkan dirinya di kapsul medis. Dibantu oleh  Spider (Wagner Moura), seorang ketua geng mata duitan, Max dipersenjatai exoskeleton untuk memperkuat fisiknya yang lemah. Spider dan Max menyusun rencana untuk hijacking Elysian brain (yes, brain) to get the important data from that person.

Tampilnya Matt Damon sebagai Max memang tak perlu diragukan lagi. Ia terlihat tangguh tapi tetap terlihat ‘human’. With his body covered by tattoo, he still fit with the image of sensitive and funny person. He looked cold enough to shot and killed people but also felt nervous when asking girl out for a date. The most interesting part of Max character is his determination to stay alive. He said ‘I will not die here’ several times like a mantra.  I’m saluting him for his determination.

Sementara itu di Elysium, Delacourt (Jodie Foster) sebagai menteri pertahanan berusaha sekuat tenaga melindungi ‘habitat’ kaum borjuis tersebut. Dengan pakaiannya yang serba putih (terkadang abu-abu) dan  rambut white-blond, Foster terlihat saintly intimidating. We couldn't judge her, whether she is a saint who want to keep her children save or the evil who hate all the earth citizen? Max dan Delacourt tidak pernah berkonfrontasi secara langsung. Max justru harus berhadapan dengan Agen Kruger (Sharlto Copley) , bawahan Delacourt yang sadis dan maniac, yang menginginkan isi kepala Max.


(photo taken from here)

Setting film ini di tahun 2154 tampaknya membawa banyak hal menarik untuk dicerna. Pertama,, nama presiden Amerika Serikat yang menjabat bernama Presiden Patel, this is the decade when Asian American could be a POTUS! Elysium sebagai tempat dimana kaum borjuis bermukim menggunakan bahasa Perancis dan Inggris dengan aksen British dalam percakapan, sementara Max dan teman-temannya di bumi menggunakan bahasa Inggris dan Spanyol secara bergantian. Jika kondisi di bumi yang kumuh, penuh dengan puing dan banyak warga yang sakit tak terurus, kehidupan warga Elysium tidak dinarasikan mendetail dalam film, hanya cuplikan sebuah pesta untuk menampilkan betapa makmurnya warga Elysium. Padahal detail kehidupan di ‘surga’ pastinya menarik untuk diceritakan.


Neill Blomkamp yang sebelumnya berhasil memukau Academy Awards dan pasar dengan District 9, tampaknya ingin kembali menunjukan sindiran politis lewat Elysium. Namun terasa kurang maksimal,, terutama dengan kehadiran melodrama antara Max dengan his childhood (girl)friend, Frey (Alice Braga). Dialog antara Max dan Frey sesaat sebelum film berakhir, literally made me rolled my eyes. Dialog itu membuat saya kehilangan sosok Max dengan kekuatannya, ia menjadi terlalu rapuh untuk dibayangkan bertindak nekad. Too much sweetness and cliché. Rasanya Blomklamp bisa mencari adegan  lain, yang tidak melibatkan drama percintaan, untuk mengantarkan kita pada ending film. But, I love the ending!

Tuesday, July 30, 2013

The Wolverine (2013) : Can I Get A Refund, Please?

I was never a fan of Marvel’s X-Men superhero. But when I watch their movie, I kinda like Wolverine or Logan’s character. He is the badass, rough, strong, independent, one-liner and handsomely heroic. But after I watch the fifth installments of Wolverine, there is one question that popped-up in my mind. “What the hell happen on Wolverine so he does some baby-sitting in Japan?”


(taken from this site)

Film dimulai dengan pelajaran sejarah peristiwa jatuhnya bom atom di Nagasaki, Jepang. Ternyata Logan adalah salah satu saksi hidup kejadian mengerikan tersebut. Bersama seorang tentara Jepang, Yashida, Logan berhasil selamat. Kemudian adegan kembali ke masa sekarang dimana Logan, pasca perang antar mutan (X-Men: The Last Stand), menjadi sosok pria gunung yang dihantui bayangan kekasihnya Jean Grey dan berteman dengan seekor beruang.  

Hingga suatu ketika, Logan bertemu dengan Yukio (Rila Fukushima) mutan eksentrik asal Jepang yang memiliki misi untuk menemukan Logan dan membawanya pada tuannya. Logan yang awalnya menolak kemudian ikut datang ke Jepang dengan niat hanya menghabiskan waktu satu hari di sana.

Rupanya majikan Yukio adalah Yashida yang kini menjadi konglomerat di Jepang. Yashida yang tengah sekarat ingin bertemu Logan untuk menawarkan pertolongan untuk mengakhiri keabadian Logan sehingga ia bisa hidup seperti manusia biasa. Tawaran tersebut kemudian ditolak oleh Logan, dan tak lama Yashida pun meninggal. Sepeninggalnya Yashida, Logan malah tersangkut konflik keluarga Yashida dan Yakuza (Japan’s version of mafia) yang membuatnya harus mengasuh dan melindungi cucu perempuan Yashida, Mariko (Tao Okamoto). Mariko menjadi incaran Yakuza karena akan mewarisi semua kekayaan kakeknya. The plot are getting messier when there is another mutant, Viper, which is the reason why Logan physical condition are getting weaker, and the black-ninja clan as the guardian of Yashida.

Semenjak kemunculannya dalam film X-Men hampir 13 tahun lalu, Logan atau Wolverine selalu digambarkan sebagai sosok yang complicated. Ia memiliki masa lalu yang kelam dan hal tersebut membuatnya menjadi sosok penyendiri yang eksentrik dan misterius. Gelapnya karakter Logan justru menjadi ciri khas dan kelebihan yang membuatnya menarik. Kelebihan tersebut malah gagal diperlihatkan oleh sutradara James Mangold dalam The Wolverine. Kenangan buruk tentang Jane yang terus menghantui harusnya menjadi asset yang mampu membuat film menjadi lebih menarik dengan sosok Logan yang more complicated. Misi Logan untuk melindungi Mariko tidak tampak dilandasi emosi yang memadai. Bahkan ketika bunga-bunga romantisme bermekaran, tidak ada greget sama sekali, as if Okamoto couldn’t catch up with Jackman’s feeling. (She just didn't understand how lucky she was because she could kiss one of the sexiest men alive).

Dangkalnya kolam emosi Logan bukanlah kesalahan Hugh Jackman. Tentunya Jackman paham betul Logan karena ini adalah penampilan keenamnya sebagai Wolverine (penampilan ketujuh ada dalam film X-Men First Class: Days of Future Past). Jackman tetap menjadi sosok Logan yang memukau secara fisik dan mampu membuat penonton terhibur dengan humor sarkasmenya. Hanya saja plot yang ada tidak begitu mengeksplorasi kelebihan Wolverine as an eccentric mutant-slash-superhero. Plotnya yang membosankan membuat saya benar-benar ingin menyandingkan sosok Logan dengan karakter Vin Diesel di film The Pacifier (2005). Well, both of them have ripped body, love to wear a white top and do some baby-sitting.


Mr. Vin Diesel do baby-sitting with white top (taken from this site)


Logan in white top with the claws (taken from here)


Meskipun keseluruhan film tak begitu memuaskan, tapi tetap ada adegan memukau dalam The Wolverine.  Adegan perkelahian Logan versus Yakuza diatas kereta Shinkansen dengan kecepatan lebih dari 400 km/jam adalah salah satu adegan yang menonjol. As they try to knocking each other out of the train, they have to maintain their position as the train move. Meskipun adegan tersebut dibuat menggunakan komputer, tapi tetap menarik dan membuat saya cukup terkagum-kagum.  Selain itu kehadiran Yukio sebagai sidekick/bodyguard dari Logan juga membuat adegan pertarungan lebih berwarna dengan teknik putaran yang membuat lawan terpuntir atau tergantung. Adegan Logan membelah dadanya sendiri juga menarik, meskipun tampaknya adegan tersebut disensor di bioskop di Indonesia (I want to see more blood!).


When I watch The Wolverine I don’t have any expectations for the movie. I even didn’t read any review before I went to the theater. I just hope I could find some entertaining time with Wolverine, but as the fifteen minutes after beginning of the movie, I really hope I could refund the ticket or go to another theater and watch the old people in RED 2.  Sigh. 

* oh but, the extended scene was good. It was more interesting than the entire movie... 

Thursday, July 11, 2013

Salmon Fishing In The Yemen (2011) : Fishing, Faith and Salmon

I know, a lot of recent movies in theaters and I could make reviews about them. But, I still have no time to visit theater yet, so I have to satisfy myself with my cable tv. Thanks God, it airing Salmon Fishing In The Yemen.


(taken from Google)


First time I know about this movie was when I watched Golden Globes in 2012. And this movie was in nomination for Best Movie in Comedy or Musical. But, I have no idea, what this movie about. Personally, the title was ridiculous for me. But, after I watched the movie, well, I think it was a good one.

Salmon Fishing In The Yemen adalah judul dari epistolary novel karya Paul Torday, and it’s all about political satire. Kemudian dengan kepiawaian Simon Beaufoy (Slumdog Millionaire) buku kemudian menjadi skrip film yang mendapat tiga nominasi dalam Golden Globes 2012 lalu.

Kegiatan memancing ikan salmon di Inggris sebenarnya merupakan sebuah olahraga yang biasa dilakukan oleh para penggila mancing di Negeri Ratu Elizabeth tersebut.  Populasi ikan salmon yang terkenal bisa berenang melawan arus ini pun banyak ditemukan di Laut Atlantik Utara yang dekat dengan wilayah Skotlandia. Lantas kegiatan memancing ini kemudian menjadi isu penting ketika Sheikh Mohammed seorang raja minyak (Amr Waked) menginginkan agar bisa memancing salmon di tanah asalnya, Yaman. Namun ide gila yang mengharuskan 10.000 ikan salmon dipindahkan hidup-hidup dari Inggris ke Yaman ini didukung oleh pemerintah, terutama karena bisa menjadi publikasi yang baik bagi hubungan UK dan timur tengah. Look, for political reason even the silliest idea could be a good and only opt that’s existed. Ide yang konyol untuk memindahkan puluhan ribu ikan salmon hidup semakin kocak dengan tampilnya Kristin Scott-Thomas as Patricia Maxwell, juru bicara Perdana Menteri yang mendukung benar ide ini karena bisa berdampak bagus bagi atasannya. Dengan gayanya yang comical, Maxwell menambah unsur how-ridiculous-this-idea-and-also-the-government.

Hanya saja, political satire justru menjadi subplot sampingan dalam film yang diarahkan oleh sutradara Swedia, Lasse Hallstrӧm. Salmon Fishing In The Yemen malah lebih banyak memperlihatkan sisi humanis yang ditemukan dalam sosok protagonist Dr Alfred Jones (Ewan McGregor), pegawai negeri dari Departemen Perikanan dan Perburuan yang bertugas bertanggung jawab akan proyek Salmon Fishing ini. Dr. Jones adalah pria yang hampir mencapai usia paruh baya dengan pernikahan yang ‘dingin’ dan istri yang telah dikenalnya sejak remaja. Kehidupan Dr Jones hanya berkutat dalam pekerjaan dan keluarga yang sama-sama menjemukan.

Rupanya Hallstrӧm menginginkan film ini bukan melulu political satire tapi lebih menggambarkan ide penyatuan antara western dan eastern (atau middle-eastern tepatnya). Tampilnya Sheikh Mohhamed yang charming, wise and very open minded seakan berusaha menunjukan keterbukaan dan pesona timur tengah. Bahkan ada beberapa dialog preachy about faith and religion dari sheikh, tapi sangat soft, sehingga penonton tak perlu takut merasa digurui. Pesona dari sheikh ini juga didukung dengan didapuknya Amr Waked, aktor asal Mesir yang tampan and charismatic, mengingatkan kita pada sosok Ben Kingsley.

Belumlah cukup sebuah film tanpa romantisme. Sembari mempersiapkan proyeknya Dr. Jones pun menemukan romantisme dari sosok Harriet Chetwode-Talbot (Emily Blunt), personal assistant yang didaulat untuk mengurus proyek ini. Bersama dengan Harriet, Dr. Jones melewati setiap permasalahan dalam proyek ini, sekaligus dalam hubungan mereka. Ketika pada akhirnya, Harriet jatuh pada pesona Dr Jones, usai kekasihnya dinyatakan hilang dalam perang di Afganistan.


Dr Jones and Harriet during a dinner scene (also taken from Google)


Chemistry antara Harriet dan Dr. Jones dimainkan dengan sangat baik. McGregor berhasil bertransformasi dari sosok Scottish-Hottie that played as Obi-Wan Kenobi in Star-Wars jadi pria paruh baya membosankan dan tidak punya sense of humor sama sekali. Yang tentunya berkebalikan dengan sosok Harriet yang cantik dan mempesona. Dalam film ini perubahan hubungan keduanya terlihat kentara tapi tidak terburu-buru. Perubahan hubungan keduanya yang semula professional menjadi kedekatan emosional harus saya acungi jempol. Both of them radiate passions for each other but also the awkwardness when they together, makes them such a darling couple.

But still happiness is a long journey for Dr. Jones, ketika muncul ancaman dari pihak extremist Yaman yang mengancam kelangsungan proyek, karena tidak menyukai kehadiran ikan-ikan western tersebut ke tanah Yaman. Bahkan ada rencana pembunuhan terhadap Sheikh Mohammed yang berhasil digagalkan Dr. Jones dengan alat pancingnya! Bisa dibilang ide terorisme ini adalah subplot lain yang tampak setengah-setengah dan tidak membawa tension apapun pada film. 


Film ini jelas bukanlah film yang sempurna membawa misi political satire seperti bukunya, tapi Salmon Fishing In The Yemen dengan baiknya memberikan romantisme komedi melalui cara yang unik dan tidak biasa. Memasukan sedikit petuah tanpa harus jadi berat dan menggurui. Semuanya tampak tidak masuk diakal, hingga kita menyaksikan film ini sampai habis dan menemukan sendiri apa yang mau kita ambil. Salah satunya mungkin telah diucapkan oleh Sheikh Mohammed bahwa faith punya nilai yang sama seperti memancing, yakni all about tolerance, patience and humility. 

Sunday, June 16, 2013

Man of Steel (2013) : When Superman Lost His Joyful Sense

Based on my experience, I never enjoy any Superman movies. From Christopher Reeves till the Brandon Routh’s, I never really be a fan of Superman. So I have to admit that I don’t feel any excitement to watch Zack Snyder’s ‘Man of Steel’. But here, I try to be objective...



Kesan pertama saya setelah sekitar 15 menit menyaksikan film ini adalah : it is really sci-fi. 30 menit pertama penonton menyaksikan kekacauan di Planet Krypton tempat asal muasal Kal-El alias Superman. Di tengah ancaman kiamat pada planetnya, General Zod, pimpinan militer di Krypton malah melakukan pemberontakan. Kondisi kacau tersebut membuat Jor-El (Russel Crowe) dan Lara (Ayelet Zurer) mengirim putra mereka Kal-El ke bumi, dimana nantinya ia diharapkan bisa membentuk kembali peradaban Krypton. Kemudian film meloncati waktu dan menunjukan kehidupan Kal-El di bumi sebagai sosok Clark Kent. Sebagai manusia, Kent menyadari dirinya berbeda. Sehingga ia menjadi outcast yang selalu berusaha mencari tahu kebenaran tentang dirinya dan keluarganya. Sesekali Snyder menggunakan mosaik untuk memperlihatkan kenangan masa lalu Kent, bagaimana ia tumbuh dibesarkan oleh Pa Kent (Kevin Costner) dan Ma Kent (Diane Lane) sebagai anak yang spesial. ‘Man of Steel’ is a story of superhero in the making (just like Batman Begins). Film ini bercerita kenapa dan bagaimana Clark Kent menjadi sosok Superman.  

Di awal film penuh dengan kapal luar angkasa, senjata from out-of-the-world, astronaut suit, DNA mutation thingy, black hole, dan elemen lainnya yang identik dengan film alien semacam ‘War of the Worlds’. Tapi kemudian penonton juga disuguhkan efek tilt camera dengan sun-kissed scenes and it’s very drama-ish, which I thought was influenced by Terrence Malick’s or movies that based on Nicholas Sparks’s novels.

‘Man of Steel’ menampilkan aktor asal Inggris, Henry Cavill sebagai the newest Superman. Physically Henry Cavill may be isn’t that handsome or charismatic compared with Reeves, but with that ripped body just like Spartans in that Snyder’s ‘300’, I thought he will be the newest hunk in Hollywood. Cavill rasanya cocok menjadi Clark Kent meski harus diakui kemampuannya tidak terlalu dieksplorasi dalam film ini. Berbeda dengan Superman ala Routh yang terjebak dilema antara nerd dan superhero, Cavill tidak (atau belum, hint for sequel may be) mengalami double identity issue. Ia justru bergulat dengan dirinya mengenai ras mana yang akan ia bela, manusia atau Kryptonians.

Sementara itu Superman’s love interest, Lois Lane dibintangi oleh Amy Adams. Lane versi Adams adalah Lane yang membosankan. Mungkin seharusnya ia bisa membawa sisi kuat dalam sosok damsel in distress, tapi rupanya ia tidak begitu sukses. Sama dengan rekan-rekannya di Daily Planet terutama pimpinannya Perry White (Laurence Fishburne) yang rasanya sia-sia ada dalam film. Sosok General Zod versi Michael Shannon tampil dengan baik meski tidak mengesankan. Shannon menampilkan sosok jendral yang kuat dan siap mengorbankan apapun demi menjaga bangsanya. Tapi lambat laun karakternya pun jadi membosankan (I miss the old campy General Zod by Stamps in ‘Superman II’).

Ketika ‘Man of Steel’ tengah memasuki masa pre-production, kemudian muncul berita bahwa Christopher Nolan akan duduk di kursi produser semua orang tampak mafhum jika ‘Man of Steel’ akan jadi Superman versi The Dark Knight Trilogy.  And it was. It is the gravest version of all. Mulai dari kostum berwarna biru gelap yang menyerupai hitam dan warna cape yang burgundy. So, Superman just lost his sense of bright pop fashion. Atmosfer serius dalam film ini diperparah dengan adanya preaching dari berbagai karakter. Mulai dari Jor-El hingga Pa Kent yang terus menerus memberikan teladan bagi anaknya (dan juga penonton). And it was really party-pooping.

Hal yang mencolok dalam film ini adalah penggunaan CGI untuk pertarungan yang sangat destruktif. Like Superman and his Kryptonians villains need to smash all things. Rupanya penggunan CGI yang berlebihan ini memiliki alasan khusus.  Berdasarkan tulisan David Edelstein tentang buku Sleepless in Hollywood karya Lynda Obst, ada alasan dibalik kenapa banyak sekali film Hollywood yang kini menampilkan aksi dengan CGI, penuh ledakan dan efek-efek IMAX serta 3D. Rupanya efek yang sangat meledak-ledak ini, jadi faktor yang membuat film Hollywood laku dan meraih keuntungan besar di berbagai negara, termasuk di China, negara yang selama ini menutup diri dari Hollywood. Bahkan uang dari penonton China mampu menyumbang sebesar 80% dari keuntungan film Hollywood tersebut..

Back to the movie, ‘Man of Steel’ is a Superman’s lost story. Karakteristik film ini melenceng jauh dari joyful and pop sense yang biasa ditampilkan dalam semua penampilan Superman baik di film maupun di komik. Superman adalah pop culture icon. Dia seharusnya menyenangkan, segar dan fun. Man of Steel’ benar-benar menghilangkan ciri khas pop culture dari Superman, tapi bagaimanapun itu menyenangkan untuk melihat versi cerita lain dari this grand-daddy of superhero.  

if you want to know me in person just check my personal account:
Twitter - Facebook - Tumblr - Pinterest - Instagram