Sunday, June 16, 2013

Man of Steel (2013) : When Superman Lost His Joyful Sense

Based on my experience, I never enjoy any Superman movies. From Christopher Reeves till the Brandon Routh’s, I never really be a fan of Superman. So I have to admit that I don’t feel any excitement to watch Zack Snyder’s ‘Man of Steel’. But here, I try to be objective...



Kesan pertama saya setelah sekitar 15 menit menyaksikan film ini adalah : it is really sci-fi. 30 menit pertama penonton menyaksikan kekacauan di Planet Krypton tempat asal muasal Kal-El alias Superman. Di tengah ancaman kiamat pada planetnya, General Zod, pimpinan militer di Krypton malah melakukan pemberontakan. Kondisi kacau tersebut membuat Jor-El (Russel Crowe) dan Lara (Ayelet Zurer) mengirim putra mereka Kal-El ke bumi, dimana nantinya ia diharapkan bisa membentuk kembali peradaban Krypton. Kemudian film meloncati waktu dan menunjukan kehidupan Kal-El di bumi sebagai sosok Clark Kent. Sebagai manusia, Kent menyadari dirinya berbeda. Sehingga ia menjadi outcast yang selalu berusaha mencari tahu kebenaran tentang dirinya dan keluarganya. Sesekali Snyder menggunakan mosaik untuk memperlihatkan kenangan masa lalu Kent, bagaimana ia tumbuh dibesarkan oleh Pa Kent (Kevin Costner) dan Ma Kent (Diane Lane) sebagai anak yang spesial. ‘Man of Steel’ is a story of superhero in the making (just like Batman Begins). Film ini bercerita kenapa dan bagaimana Clark Kent menjadi sosok Superman.  

Di awal film penuh dengan kapal luar angkasa, senjata from out-of-the-world, astronaut suit, DNA mutation thingy, black hole, dan elemen lainnya yang identik dengan film alien semacam ‘War of the Worlds’. Tapi kemudian penonton juga disuguhkan efek tilt camera dengan sun-kissed scenes and it’s very drama-ish, which I thought was influenced by Terrence Malick’s or movies that based on Nicholas Sparks’s novels.

‘Man of Steel’ menampilkan aktor asal Inggris, Henry Cavill sebagai the newest Superman. Physically Henry Cavill may be isn’t that handsome or charismatic compared with Reeves, but with that ripped body just like Spartans in that Snyder’s ‘300’, I thought he will be the newest hunk in Hollywood. Cavill rasanya cocok menjadi Clark Kent meski harus diakui kemampuannya tidak terlalu dieksplorasi dalam film ini. Berbeda dengan Superman ala Routh yang terjebak dilema antara nerd dan superhero, Cavill tidak (atau belum, hint for sequel may be) mengalami double identity issue. Ia justru bergulat dengan dirinya mengenai ras mana yang akan ia bela, manusia atau Kryptonians.

Sementara itu Superman’s love interest, Lois Lane dibintangi oleh Amy Adams. Lane versi Adams adalah Lane yang membosankan. Mungkin seharusnya ia bisa membawa sisi kuat dalam sosok damsel in distress, tapi rupanya ia tidak begitu sukses. Sama dengan rekan-rekannya di Daily Planet terutama pimpinannya Perry White (Laurence Fishburne) yang rasanya sia-sia ada dalam film. Sosok General Zod versi Michael Shannon tampil dengan baik meski tidak mengesankan. Shannon menampilkan sosok jendral yang kuat dan siap mengorbankan apapun demi menjaga bangsanya. Tapi lambat laun karakternya pun jadi membosankan (I miss the old campy General Zod by Stamps in ‘Superman II’).

Ketika ‘Man of Steel’ tengah memasuki masa pre-production, kemudian muncul berita bahwa Christopher Nolan akan duduk di kursi produser semua orang tampak mafhum jika ‘Man of Steel’ akan jadi Superman versi The Dark Knight Trilogy.  And it was. It is the gravest version of all. Mulai dari kostum berwarna biru gelap yang menyerupai hitam dan warna cape yang burgundy. So, Superman just lost his sense of bright pop fashion. Atmosfer serius dalam film ini diperparah dengan adanya preaching dari berbagai karakter. Mulai dari Jor-El hingga Pa Kent yang terus menerus memberikan teladan bagi anaknya (dan juga penonton). And it was really party-pooping.

Hal yang mencolok dalam film ini adalah penggunaan CGI untuk pertarungan yang sangat destruktif. Like Superman and his Kryptonians villains need to smash all things. Rupanya penggunan CGI yang berlebihan ini memiliki alasan khusus.  Berdasarkan tulisan David Edelstein tentang buku Sleepless in Hollywood karya Lynda Obst, ada alasan dibalik kenapa banyak sekali film Hollywood yang kini menampilkan aksi dengan CGI, penuh ledakan dan efek-efek IMAX serta 3D. Rupanya efek yang sangat meledak-ledak ini, jadi faktor yang membuat film Hollywood laku dan meraih keuntungan besar di berbagai negara, termasuk di China, negara yang selama ini menutup diri dari Hollywood. Bahkan uang dari penonton China mampu menyumbang sebesar 80% dari keuntungan film Hollywood tersebut..

Back to the movie, ‘Man of Steel’ is a Superman’s lost story. Karakteristik film ini melenceng jauh dari joyful and pop sense yang biasa ditampilkan dalam semua penampilan Superman baik di film maupun di komik. Superman adalah pop culture icon. Dia seharusnya menyenangkan, segar dan fun. Man of Steel’ benar-benar menghilangkan ciri khas pop culture dari Superman, tapi bagaimanapun itu menyenangkan untuk melihat versi cerita lain dari this grand-daddy of superhero.  

if you want to know me in person just check my personal account:
Twitter - Facebook - Tumblr - Pinterest - Instagram 

No comments:

Post a Comment