Hi, long time no see. Free time is getting
harder to get, and every time I try to find some me time, I end up wasting it,
just by watching more movie without really thinking and writing about it. So
here is my come back.
Banyak
hal menarik saat menyaksikan film ini. Pertama, ini adalah kunjungan saya
kembali ke bioskop setelah berbulan-bulan memendam hasrat dan melewatkan film
demi film. Kedua, ini kali pertama saya menonton bersama teman-teman sekantor. Yay me, for successful attempt to blend in!
So, Interstellar. Film ini telah membangkitkan
rasa penasaran seluruh pecinta film bahkan jauh sebelum di rilis. Kenapa? Well, karena sosok Christopher Nolan
sebagai salah satu influential director saat ini. Belum lagi kehadiran deretan
cast berbakat seperti McConaughey, Hathaway, Chastain dan Michael Caine. Namun
yang paling menarik adalah genre film
itu sendiri, Sci-fi dengan slogan Go Further. Nolan menjanjikan sebuah
perjalanan dramatis menuju destinasi terjauh dibandingkan imajinasi yang berani
dimiliki sutradara lain dari genre
yang sama. Kombinasi keseluruhan membuat Interstellar menjadi film paling di
antisipasi dan ambisius di tahun ini.
Dimulai
dengan perkenalan kondisi bumi di masa depan. Semakin tua, bumi menjadi
sekarat. Membawa manusia ke ambang akhir peradabannya. Adalah Coop (Matthew
McConaughey) mantan astronot yang menjadi petani, selalu berusaha optimis bahwa
manusia akan berhasil melewati masa sulit ini. Secara kebetulan Murph
(Mackenzie Foy) anak perempuan Coop menemukan pertanda yang mengarahkan mereka
pada kantor rahasia NASA. Kenapa rahasia? Manusia sedang kesulitan pangan,
semua dana yang ada diarahkan pada upaya untuk menyediakan pangan, bukan
pengembangan teknologi atau penjelajahan angkasa luar, karena itu NASA
mengembangkan sebuah proyek penyelamatan manusia secara diam-diam. Dipimpin
oleh Prof. Brand (Michael Caine), Coop beserta Amelia (Anne Hathaway) dan dua
orang astronot lainnya bertanggung jawab dengan nasib umat manusia. Mereka
bertugas menemukan planet lain yang bisa dihuni menggantikan bumi.
Bagi Coop
perjalanan ini akan semacam kesempatan kedua menjalani impiannya menjelajahi
angkasa. Namun disisi lain ia tahu bahwa kepergiannya akan menghancurkan hati
Murph dan keluarganya. Dengan pergi ia bisa menyelamatkan bumi, manusia dan
keluarganya namun itu berarti ia akan melewatkan bertahun-tahun kehidupan
Murph. Pikiran dilematis yang dihadapi oleh Coop inilah yang akan menentukan
nasib manusia. Ketika kelangsungan umat manusia berada di tangan empat orang
astronot tidak berpengalaman, bahkan belum pernah berada di luar bumi, tentunya
menjadi hal absurd untuk sebuah film
yang sangat ambisius.
Interstellar bisa dibagi dalam dua
bagian. Pertama adalah bagian awal yang penuh akan drama dan menitikberatkan
pada pengenalan karakter dan family issue.
Dan bagian ini rasanya bukan bagian favorit saya. Jujur pada genrenya, drama sekadar
sebagai tempelan. Kisah kemanusiaan bukan fokus utama, hanya pelengkap cerita. Inilah garis pemisah antara Interstellar
dan Gravity, yang justru kental akan life lesson. McConaughey setelah kesuksesannya dalam Dallas
Buyers Club, berjuang keras untuk menampilkan sisi kebapakan. Dia berhasil
menghadirkan kelembutan khas orang tua dan membuat saya ikut berkaca-kaca saat
ia terpisah dengan Murph. Hathaway disisi lain, sama-sama berusaha meskipun tak
benar-benar berhasil. Sementara Jessica Chastain sebagai Murph dewasa membantu
memperdalam unsur drama. Tapi elemen yang paling hadir dari sosok robot
pembantu TARS dengan sense of humor
yang sarkastik namun begitu segar, menjadi jeda yang tepat saat saya mulai
merasa lelah dengan dahi berkerut memikirkan detail perhitungan perjalanan
antar galaksi ini.
Sementara
bagian kedua film adalah pertunjukan utama yang sudah dinantikan. Visualisasi
luar biasa terjemahan dari naskah karya Jonathan Nolan. Bukan rahasia bahwa Nolan
berkonsultasi dengan Kip Thorne seorang ahli fisika untuk menciptakan detail
akurat secara ilmiah tentang penampakan black
hole dan perjalanan antar galaksi. Dan hasilnya? Spectacular. The Saturn, the worm hole, the black hole, and tesseract,
all of them were superb. Begitu teliti, seakan kita tengah menyaksikan dokumentasi
NASA akan penjelajahan antariksa. Sinematografi ‘bersih’ dan angle tidak biasa menunjukan kekuatan
dan kebesaran alam semesta sekaligus kekuatan Nolan dalam menerjemahkan sebuah
dunia baru ke dalam elemen film.
Film ini
tidak cukup kuat menghadirkan drama sarat humanisme, akan kekuatan manusia dalam
menghadapi ‘akhirnya’. Kekuatan terbesar –sama dengan film Nolan lainnya, hadir
lewat permainan alur, logika dan atraksi visual, hasil daya khayal yang luar biasa. Sebagai penutup Nolan menghadirkan salah satu senjata lainnya,
yakni kejutan diluar dugaan penonton. Walaupun tak begitu kuat dalam eksekusi –seakan
dipaksakan dan tidak masuk diakal, namun cukup untuk membuat saya ingin memeluk
Nolan bersaudara, menyelamatinya atas imajinasi dan ambisinya yang menakjubkan.