Sunday, November 16, 2014

Interstellar (2014): Nolan's Odyssey

Hi, long time no see. Free time is getting harder to get, and every time I try to find some me time, I end up wasting it, just by watching more movie without really thinking and writing about it. So here is my come back.

Banyak hal menarik saat menyaksikan film ini. Pertama, ini adalah kunjungan saya kembali ke bioskop setelah berbulan-bulan memendam hasrat dan melewatkan film demi film. Kedua, ini kali pertama saya menonton bersama teman-teman sekantor. Yay me, for successful attempt to blend in!

So, Interstellar. Film ini telah membangkitkan rasa penasaran seluruh pecinta film bahkan jauh sebelum di rilis. Kenapa? Well, karena sosok Christopher Nolan sebagai salah satu influential director saat ini. Belum lagi kehadiran deretan cast berbakat seperti McConaughey, Hathaway, Chastain dan Michael Caine. Namun yang paling menarik adalah genre film itu sendiri, Sci-fi dengan slogan Go Further. Nolan menjanjikan sebuah perjalanan dramatis menuju destinasi terjauh dibandingkan imajinasi yang berani dimiliki sutradara lain dari genre yang sama. Kombinasi keseluruhan membuat Interstellar menjadi film paling di antisipasi dan ambisius di tahun ini.



Dimulai dengan perkenalan kondisi bumi di masa depan. Semakin tua, bumi menjadi sekarat. Membawa manusia ke ambang akhir peradabannya. Adalah Coop (Matthew McConaughey) mantan astronot yang menjadi petani, selalu berusaha optimis bahwa manusia akan berhasil melewati masa sulit ini. Secara kebetulan Murph (Mackenzie Foy) anak perempuan Coop menemukan pertanda yang mengarahkan mereka pada kantor rahasia NASA. Kenapa rahasia? Manusia sedang kesulitan pangan, semua dana yang ada diarahkan pada upaya untuk menyediakan pangan, bukan pengembangan teknologi atau penjelajahan angkasa luar, karena itu NASA mengembangkan sebuah proyek penyelamatan manusia secara diam-diam. Dipimpin oleh Prof. Brand (Michael Caine), Coop beserta Amelia (Anne Hathaway) dan dua orang astronot lainnya bertanggung jawab dengan nasib umat manusia. Mereka bertugas menemukan planet lain yang bisa dihuni menggantikan bumi.

Bagi Coop perjalanan ini akan semacam kesempatan kedua menjalani impiannya menjelajahi angkasa. Namun disisi lain ia tahu bahwa kepergiannya akan menghancurkan hati Murph dan keluarganya. Dengan pergi ia bisa menyelamatkan bumi, manusia dan keluarganya namun itu berarti ia akan melewatkan bertahun-tahun kehidupan Murph. Pikiran dilematis yang dihadapi oleh Coop inilah yang akan menentukan nasib manusia. Ketika kelangsungan umat manusia berada di tangan empat orang astronot tidak berpengalaman, bahkan belum pernah berada di luar bumi, tentunya menjadi hal absurd untuk sebuah film yang  sangat ambisius.



Interstellar bisa dibagi dalam dua bagian. Pertama adalah bagian awal yang penuh akan drama dan menitikberatkan pada pengenalan karakter dan family issue. Dan bagian ini rasanya bukan bagian favorit saya. Jujur pada genrenya, drama sekadar sebagai tempelan. Kisah kemanusiaan bukan fokus utama, hanya pelengkap cerita. Inilah garis pemisah antara Interstellar dan Gravity, yang justru kental akan life lesson. McConaughey setelah kesuksesannya dalam Dallas Buyers Club, berjuang keras untuk menampilkan sisi kebapakan. Dia berhasil menghadirkan kelembutan khas orang tua dan membuat saya ikut berkaca-kaca saat ia terpisah dengan Murph. Hathaway disisi lain, sama-sama berusaha meskipun tak benar-benar berhasil. Sementara Jessica Chastain sebagai Murph dewasa membantu memperdalam unsur drama. Tapi elemen yang paling hadir dari sosok robot pembantu TARS dengan sense of humor yang sarkastik namun begitu segar, menjadi jeda yang tepat saat saya mulai merasa lelah dengan dahi berkerut memikirkan detail perhitungan perjalanan antar galaksi ini.  

Sementara bagian kedua film adalah pertunjukan utama yang sudah dinantikan. Visualisasi luar biasa terjemahan dari naskah karya Jonathan Nolan. Bukan rahasia bahwa Nolan berkonsultasi dengan Kip Thorne seorang ahli fisika untuk menciptakan detail akurat secara ilmiah tentang penampakan black hole dan perjalanan antar galaksi. Dan hasilnya? Spectacular. The Saturn, the worm hole, the black hole, and tesseract, all of them were superb. Begitu teliti, seakan kita tengah menyaksikan dokumentasi NASA akan penjelajahan antariksa. Sinematografi ‘bersih’ dan angle tidak biasa menunjukan kekuatan dan kebesaran alam semesta sekaligus kekuatan Nolan dalam menerjemahkan sebuah dunia baru ke dalam elemen film.

Film ini tidak cukup kuat menghadirkan drama sarat humanisme, akan kekuatan manusia dalam menghadapi ‘akhirnya’. Kekuatan terbesar –sama dengan film Nolan lainnya, hadir lewat permainan alur, logika dan atraksi visual, hasil daya khayal yang luar biasa. Sebagai penutup Nolan menghadirkan salah satu senjata lainnya, yakni kejutan diluar dugaan penonton. Walaupun tak begitu kuat dalam eksekusi –seakan dipaksakan dan tidak masuk diakal, namun cukup untuk membuat saya ingin memeluk Nolan bersaudara, menyelamatinya atas imajinasi dan ambisinya yang menakjubkan.


Wednesday, June 11, 2014

Maleficent (2014): Bring Me More Evil and Wicked Jolie!

Empat tahun absen di layar lebar tentunya publik menanti-nanti kehadiran salah satu Hollywood Royalty, Angelina Jolie. Sejujurnya, saya termasuk penggemar tunangan Brad Pitt ini, maka wajar kalau perannya dalam film Disney yang sangat un-Jolie-like, begitu saya tunggu. Beberapa trailers yang telah di buzz berbulan-bulan menunjukan ‘how wicked and badass she is’. Keren. Selain itu, tone film jauh lebih ‘gelap’ dibandingkan tipe film Disney lain yang bubbly dan happy.

Poster Maleficent yang membuat saya 'jatuh cinta'

Adegan dibuka dengan kisah masa kecil Maleficent. Sisi yang selama ini tidak tertulis dalam tiap dongeng. Maleficent adalah peri terkuat pelindung Moors, kawasan yang dihuni makhluk-makhluk fantasi. Maleficent kecil memiliki seorang sahabat manusia bernama Stefan. Di usia mereka yang ke-16, mereka berikrar dengan sebuah ciuman cinta sejati. Namun lambat laun, Stefan mulai berubah. Keserakahannya menjadikan Stefan tega memotong sayap Maleficent demi mengambil hati raja yang sudah sepuh dan menikahi puteri mahkota. Merasa dikhianati, Maleficent berubah menjadi sosok penuh angkara murka yang siap membalas dendam pada Raja Stefan.

Maleficent merupakan debut penyutradaraan Robert Stormberg yang sebelumnya sukses membawa pula 2 piala Oscar atas kiprahnya sebagai production designer dalam film Alice in Wonderland dan Avatar. Sayangnya Stormberg tak begitu piawai menerjemahkan skrip. Adegan yang muncul terasa berantakan dan tidak terarah. Narasi lambat, membuat adegan pembukaan terasa begitu panjang dan membosankan. Penyelamat dari kejenuhan ini adalah angkara murka Angelina Jolie.

Delishly evil!

Sebagai peri yang dikhianati, Jolie bisa mengeluarkan kepedihan itu dengan begitu baik. Namun tidak ada yang dapat mengalahkan ekspresi penuh dendam diwajahnya. Justru saya menatap layar penuh kekaguman saat Jolie hadir dengan bibir merah darah, tanduk yang mencuat, mata berkilat-kilat dan dendam kesumat. Aura jahatnya justru membuat film terasa lebih hidup dan menarik. Sebagai pembalasan dendamnya, ‘The Evil Maleficent’ hadir dalam pesta pembaptisan Aurora, putri Stefan. Kehadirannya di layar menutupi pesona pemeran lainnya. Jolie menguasai betul film ini.

Adegan-adegan minus Jolie, lewat begitu saja. Kehadiran tiga aktris papan atas Inggris, Imelda Staunton (Prof. Umbridge dalam Harry Potter), Juno Temple (Atonement, The Dark Knight Rises) dan Lesley Manville (Romeo & Juliet) sebagai trio peri pelindung Aurora, hanya jadi pengundang tawa yang tak di eskplorasi lebih jauh. Dijadikannya Sharlto Copley sebagai King Stefan rasanya adalah sebuah kesalahan. Ia bukan tandingan Jolie. Saat adegan berpasangan dengan Jolie, ia tampak menghilang dari layar. Untungnya, Elle Fanning bisa dengan mudah mencuri perhatian dalam film. Sebagai Aurora ia bisa menyeimbangkan kuatnya intensitas Jolie.

Sebagai penulis naskah Linda Woolverton memilih menunjukan sisi lain Maleficent ketika berhadapan dengan Aurora. Kebencian Maleficent menuntunnya pada perasaan sayang kepada Aurora. Meskipun ia menjuluki Aurora sebagai ‘Beasty’ alias Monster Kecil, rasa simpati tumbuh membuatnya menyesal telah mengutuk Aurora. Menggunakan ending a la Frozen, Maleficent dijadikan sebagai pemilik cinta sejati untuk Aurora.

Ketika promo film ini, Jolie pernah berkata bahwa sejak kecil ia menyukai sosok Maleficent karena daya tarik keangkuhan dan sisi jahat yang begitu menggoda. Pesona ini justru berkurang dalam Maleficent. Membiarkan penonton bersimpati dan melihatnya sebagai korban bukan pelaku. Padahal misteri kekejaman dan arogansi Maleficent membuatnya menjadi simbol antagonis Disney yang ikonik, dan tak terlupakan. Secara pribadi saya memilih untuk tetap melihat Maleficent sebagai The Evil, ketimbang menyaksikannya meneteskan air mata duka menangisi Aurora yang jatuh dalam tidur 1 menit panjangnya.


Mengharapkan Jolie membawakan aksi kejam dan licik yang sanggup membuat bulu roma berdiri, saya justru mendapatkan penjahat yang bertobat. Kerinduan menyaksikan aksi memukau Jolie di layar rasanya tak terpuaskan. Ledakan amarah dan kejahatan yang saya tunggu muncul hanya sekejap. I wish they showed me more deliciously evil Maleficent… 

Friday, June 6, 2014

How to Train Your Dragon 2 (2014): Funnier, Heavier and Toothless

Berusaha mengulang kesuksesan film pertamanya di 2010, DreamWorks merilis How to Train Your Dragon 2, kisah persahabatan tidak biasa antara manusia dan naga. Masih dikomandoi oleh Dean DeBlois, Dragon 2 ditunggu dengan iming-iming aksi yang lebih atraktif, konflik yang lebih matang dan menyayat hati. Coba ingat kembali ending How to Train Your Dragon yang menunjukan pada penonton bahwa pahlawan memang harus berkorban dan bahagia tak berarti sempurna. Akhir tidak terduga dari sebuah film animasi yang identik dengan ‘happy ever after’.



Dragon 2 dibuka dengan kondisi Berk, masyarakat Viking, lima tahun pasca konflik besar mereka dengan para naga. Kini masyarakat Berk hidup rukun bersama para naga. Makhluk penyembur api ini dilibatkan dalam setiap aktivitas warga. Bahkan sebuah pertandingan macam Quidditch pun melibatkan naga sebagai tunggangan. Sementara Stoick (Gerard Butler) kepala suku Berk ingin agar putranya, Hiccup (Jay Baruchel), menjadi kepala suku menggantikannya. Namun Hiccu lebih memilih mengeksplorasi daratan jauh bersama naga hitam kesayangannya yang menggemaskan, Toothless. Hiccup merasa menjadi kepala suku bukanlah ‘dirinya’.



DeBlois kembali berhasil memukau penonton dengan persahabatan antara Hiccup dan Toothless yang memang daya tarik terkuat dalam Dragon 1. Tingkah lucu Toothless benar-benar membuat penonton gemas pada hewan legenda ini. Sebagai karakter tanpa dialog, Toothless tetap jadi tokoh sentral yang menarik hati penonton dengan gestur dan kelakuannya yang menyerupai anak kucing. Toohtless jadi pencuri perhatian dalam setiap adegan!

Dibuka dengan menyenangkan dan berenergi kemudian digantikan oleh adegan mengundang air mata akibat konflik keluarga. Hiccup akhirnya bertemu kembali dengan ibunya, Valka (Cate Blanchett) yang selama ini ia anggap telah mati. Sang ibu yang menjadi penjaga para naga, memohon kesempatan kedua kepada anak yang ia tinggalkan. Valka memohon maaf dan memintanya untuk kembali membangun keluarga yang utuh. Sebuah lagu romantis a la Viking pun dinyanyikan oleh sosok besar Stoick pada Valka untuk memenangkan hatinya kembali. Adegan yang menyentuh hati.  

Tiran jahat hadir lewat sosok Drago Bludvist (Djimon Hounsou) yang berambisi menguasai semua naga dengan mengalahkan naga alfa yang selama ini dilindungi Valka. Peperangan pun tak terelakkan, dan memakan korban jiwa yang begitu besar, sekaligus mempertaruhkan persahabatan Hiccup dan Toothless.

DeBlois jelas berusaha menyeimbangkan setiap subplot yang dalam Dragon 2, dan sukses. Tiap bagian memiliki porsi jelas yang tidak sia-sia. Melewati berbagai konflik, mood penonton ikut terbentuk mengikut karakter berkat bantuan scoring yang luar biasa memikat dari John Powell. Sebelumnya score masuk nominasi Best Original Score untuk Academy Awards 2011 berkat karyanya dalam Dragons 1, dan rasanya ia menjadi kandidat kuat untuk kembali masuk nominasi tahun depan.

Multi konflik yang dihadirkan sedikit mengurangi pesona film ini. Dragon 2 memang lebih penuh aksi dan menghibur, namun bertubi-tubinya konflik yang dihadapi oleh Hiccup serta banyaknya karakter menghilangkan kesederhanaan dan kedalaman emosi yang sebelumnya menjadi daya tarik Dragon 1. Deretan kisah yang seharusnya membantu menyusun kerangka emosi justru menjadi bumerang yang mendangkalkan keterikatan penonton pada sosok protagonis. Meskipun begitu, Dragon 2 tetap menjadi animasi istimewa yang berbeda dibandingkan karya DreamWorks lainnya.

Tuesday, May 27, 2014

X-Men: Days of Future Past (2014): Mega Superhero with Nothing New

This movie is perfectly fit to be called as Mega-Superheroes movie. Tak cukup menampilkan dua protagonist dari film pertamanya X-Men: First Class, James McAvoy dan Michael Fassbender, sekuel ini juga mengundang dua aktor kawakan dari trilogi X-Men yang lalu, Patrick Stewart dan Ian McKellen. Menggunakan formula klasik time-traveler, sutradara Bryan Singer menyatukan dua tim superhero beda generasi dalam film ini.



Alur cerita time-traveler tak memberikan banyak kejutan dalam plot. Tahun 2014 merupakan masa yang kelam bagi para mutan. Mereka diburu oleh mutant-ish robot bernama Sentinel, yang diciptakan oleh Bolivar Trask (Peter Dinklage) pada tahun 70’an. Sentinel merupakan mesin pemburu yang dapat mendeteksi DNA para mutan dan beradaptasi dengan kekuatan mutan yang mereka hadapi. Sosok Sentinel layaknya malaikat pencabut nyawa. Berkesan horror, dengan alat transportasi berbentuk peti mati, sosok tinggi besar, dingin, dan gerakan ala robotic. Very un-human.

Berlomba dengan Sentinel yang terus mengejar, tim mutant yang dipimpin oleh Xavier tua (Patrick Stewart) dan his on-off-friend Magneto (Ian McKellen) mengirim Logan (Hugh Jackman) ke masa lalu untuk mengubah sejarah. Logan harus menghentikan Mystique alias Raven (Jennifer Lawrence) membunuh Trask, peristiwa kunci dimulainya program Sentinel. Tak hanya itu, untuk mencegah Mystique, Logan harus menemukan Xavier muda (McAvoy) dan Eric muda (Fassbender) terlebih dahulu. Tugas Logan semakin sulit karena pada masa itu Xavier dalam kondisi depresi berat dan ketergantungan obat. Sementara Eric dikurung di Pentagon akibat keterlibatannya dalam pembunuhan JFK (nice touch, Simon Kinberg et all).

Meskipun penuh berhiaskan karakter-karakter mutant dari trilogi sebelumnya, Storm, Kitty, old-Beast, Iceman, dan beberapa mutant lainnya (I don’t want to spoiled the readers), kehadiran mereka tak lantas jadi kejutan yang berbeda. Storm (Halle Berry) hanya memiliki sekitar dua baris dialog lantas terlempar keluar layar. Ellen Page berperan besar bagi cerita tapi minim energi. Sosok Quicksilver/Peter Maximoff (Evan Peters) menyumbangkan energi positif dengan penampilannya. Semuanya mendapat porsi seimbang sebagai pendukung cerita.



Sedangkan McAvoy dan Fassbender terlihat lebih berusaha mengeluarkan kedalaman karakter dibandingkan film pertama mereka. McAvoy berhasil menjelma sebagai pria depresi yang kehilangan segalanya sementara Fassbender penuh ambis dan super keren dengan kostum serta semua pakaian yang dikenakannya (DUH!). Jackman? Ini penampilan ketujuhnya sebagai Wolverine, jelas ia sudah sangat menjiwai. Duet Stewart dan McKellen, tak terlalu berperan besar tapi memuaskan dahaga fans film sebelumnya. Dinklage membawakan karakter Trask dengan mengesankan. Ia tampil dengan begitu innocence, namun sosok dan suara tenangnya memberikan aura mengancam khas main-villain. Dan Lawrence yang benar-benar mencuri perhatian lewat aktingnya. Mengenakan full body make-up sebagai Mystique, emosi, dendam dan kesedihan ia salurkan melalui sorotan matanya. She really steals the entire spotlight!

I’m not fan of Singer last directorial effort, Jack the Giant Slayer (2013). But this movie is much-much-much better than that. The special effect gives the movie a really good fun. The most remarkable scene is the show-stopping set-piece with the faster-than-bullets Quicksilver. He makes the scene like a ballet-bullets show with a good back song. REALLY NICE.

Meskipun hadir dengan plot yang mudah ditebak, dan minim kejutan X-Men: Days of Future Past contoh film bertabur superhero yang digarap dengan matang sehingga memuaskan para penonton. Jenis film yang didambakan semua studio besar, karena selain berhasil mendapatkan review (lumayan) positif, juga meraup keuntungan besar yang membuat Singer akan segera menyusun film ketiga, X-Men: Apocalypse.

Wednesday, May 14, 2014

The Amazing Spider-Man 2 (2014): It's a Sweet Rom-Com

Hello, hello! Hi fellow moviegoers, it has been a long time since my last post (last year, huh?). I’m sorry about the hiatus, but lot of stuff happen in my life and I need some time to make things in order again.

And now back to business. The last movie I’ve watch is The Amazing Spiderman: Rise of Electro or better known as The Amazing Spider-Man 2.



Kesuksesan film pertamanya, The Amazing Spider-Man (2012) membuat sekuel yang kembali dikomando Marc Webb ini begitu di nanti. Belum lagi spoiler akan kemunculan karakter antagonis Green Goblin, Electro dan Rhino membuat para penggemar komik Marvel begitu antusias dan membuat sekuel ini sebagai salah satu film paling ditunggu di 2014.

And the result was? An overplotting and messy superhero movie. Alex Kutrzman dan Roberto Orci sebagai penulis gagal meramu scenario yang tersusun rapi. Subplot-subplot saling tumpang tindih dan terlalu memaksa sehingga karakter terasa tidak matang. Sepertinya Marc Webb terlalu tergesa-gesa memperkenalkan semua musuh legendaris Spiderman demi menyiapkan kemunculan Sinister Six di film ketiga nanti. Karakter musuh dalam film kali ini sama konyolnya dengan The Lizard (he wants to turned everyone in NYC into lizard? Like seriously?!) Dan love-turn-to-hate yang dialami oleh Electro kepada Spiderman (James Foxx) terasa palsu. He mad at Spiderman because he found him as selfish bastard, duh.

Sementara itu Dane DeHaan sebagai Harry Osborn aka Green Goblin muncul mencuri perhatian dengan penampilan flamboyan nan sophisticated, like he was born to play as villain. Namun obsesinya akan darah Spiderman as weird as The Lizard stuff. It was boring. It’s felt like Webb just thrown every villain in Spiderman’s comic book.  Subplot lain yang terbuang sia-sia adalah rahasia ayah Peter kenapa ia meninggalkan anak tunggalnya. Peter figured out about the secret subway station, and then so what? Nothing happens. Except may be Webb try to save it for the last movie.


So sweeeeeeeet.

Kehancuran film ini terselamatkan oleh kekuatan cinta (yes, it’s true) antara Andrew Garfield dan Emma Stone. Berperan sebagai sepasang kekasih di depan layar, Peter Parker dan Gwen Stacy, chemistry antara off-screen lover ini begitu kuat. Disini Webb menunjukan kualitas penyutradaraan seperti dalam (500) Days of Summer yang membuat namanya melejit. Akting Stone membuktikan dirinya sebagai salah satu Hollywood it-girl. She was stunning and brilliantly beautiful. Seeing Gwen and Peter makes you blushing, heartbroken and cheers when they back together. Then I wish they were in rom-com movie without web-slinging superhero. Yeah, make it happen, Hollywood, they deserve The Notebook-kind movie!!

Saturday, March 15, 2014

A Stranger Called Jo.

Okay, this is may be waaaaay out of topic, but I think I need to do this.
This post dedicated to a stranger called 'Jo', who happened to met me several days ago.
And if you, Jo, by any chance read this post, I would like to contact you, so please leave your email address here, or kindly contact me via daniarcikita@gmail.com and I will contact you.
I'm looking forward to hearing from you soon. 



KIKY