Witty, attractive and fun, those were in my mind after I finished with The
Kids Are All Right by Lisa
Cholodenko. It is an urbane movie about
an unconventional family who living their life as normal as every other family.
This movie is called by the director as “an interesting way to work with
this kind of characters (homosexual)”.
The Kids Are All Right arahan Lisa Cholodenko bukanlah gay movie biasa, yang
menceritakan perjuangan gay. Film ini mengisahkan kehidupan Nic (Annete Bening)
dan (Jules (Julianne Moore) yang merupakan sepasang lesbian di akhir usia
40’an, dan harus membesarkan dua orang anak remaja, Joni (Mia Wasikowska) dan
Laser (Josh Hutcherson). Namun tema utama yang hendak disampaikan oleh
Cholodenko, justru bukanlah drama percintaan sesama jenis, melainkan simply drama keluarga, which is a story about the ups and downs in
building a family.
Cholodenko bisa dibilang
melakukan penggambaran keluarga yang anti-mainstream.
Keluarga Nic dan Jules adalah keluarga bahagia, mereka hidup berkecukupan
dengan Nic sebagai tulang punggung yang bekerja sebagai dokter, Jules menjadi sosok
‘ibu’ yang merawat dan fokus pada perkembangan anak-anak. Keduanya hidup
bahagia melewati naik-turunnya hubungan dan mengalami mid-life crisis like other people. Sedangkan kedua anak mereka, Joni
merupakan siswi pintar yang akan segera masuk ke universitas, dan Laser,
sedikit unfocused, tapi tampaknya
tidak kekurangan cinta kasih dari kedua ibunya.
Drama dimulai ketika Joni dan
Laser berkeinginan – tanpa alasan yang jelas – menemui ayah biologis mereka,
yakni pendonor sperma misterius yang turut berperan dalam ‘asal mula’ mereka
berdua. Akhirnya ditemukanlah sosok Paul (Mark Ruffalo), seorang restaurateur yang bergaya hidup bebas,
santai, memiliki kepribadian hangat dan mempesona.
Sosok Paul, diluar penampilannya
yang begajulan, rupanya adalah
pribadi yang menyenangkan dan menikmati pengalaman barunya sebagai ayah dua
orang remaja. Ia dengan mudahnya menarik hati Joni dan Laser, bahkan mendorong
keduanya untuk bertindak lebih baik dan dewasa. Meski Paul selama ini tak berpengalaman
dalam komitmen, ia tampak sangat mendalami perannya sebagai sosok ayah. Mark
Ruffalo berhasil membawakan peran Paul dengan apik dan mendapatkan simpati
saya, sehingga saya merasa lega akhirnya Joni dan Laser berkemungkinan memiliki
potret keluarga lengkap dengah hadirnya sosok ayah (see, how my state of mind have been constructed with the normative
family idea, father-mother-and-kids).
Drama terjadi ketika bukan hanya
anak-anak yang terpesona dengan Paul’s
charm, tapi juga Jules yang kemudian terlibat sexually (and emotionally?) dengan Paul. Disini Cholodenko
melakukan hal yang tidak saya sadari, sampai ketika saya hendak menulis review
ini. Melalui The Kids Are All Right,
Cholodenko tengah menarik garis batas moral yang saya (dan penonton) miliki.
Sepasang wanita yang merupakan penyuka sesama jenis, lalu salah satunya
selingkuh dan had sex dengan seorang
pria, yang sebenarnya merupakan hal yang lumrah secara normatif dan biologis.
Lantas mana yang akan saya dukung, perselingkuhan atau kesetiaan dengan
pasangan yang sejenis?
Bukan hanya itu, sosok Paul yang sudah
berhasil mengambil simpati anak-anak, justru menjadi sosok parasit yang
menggerogoti keluarga Nic dan Jules. Ketika saya baru merasa, bahwa akhirnya akan
terbentuk keluarga yang lengkap (dalam ukuran normatif), Cholodenko memutarbalikkan
‘kenyamanan’ itu dan memberikan twist
yang menarik.
Sebenarnya tidak ada yang baru
dengan isu-isu dalam film ini, diluar semua kerumitan hubungan segitiga dalam
bentuk homoseksual dan heteroseksual, The
Kids Are All Right menunjukan problematika keluarga pada umumnya. Tema
perselingkuhan, orang tua yang overprotektif atau pasangan yang terlalu
mengkritik, adalah isu yang biasa diangkat dalam film drama manapun. Mungkin
inilah cara Cholodenko menunjukan bahwa pasangan gay juga bisa menjalani hidup
sebagaimana orang lain dan menghadapi problematika seperti orang lain.
Dengan drama yang menarik, narasi
yang mengalir ringan dan effortlessly funny,
Cholodenko seperti tengah memberikan opsi mengenai keluarga, bahwa keluarga
bisa dibentuk dengan berbagai cara, dan beranggotakan baik sejenis maupun
berlawanan jenis kelamin. Toh pada akhirnya yang terpenting adalah the kid are all right, and so does the
family.