Wednesday, April 24, 2013

A Late Quartet (2012) : When Beethoven Teach Us About Life and Music

Is life imitating art or perhaps the other way around? Who knows?




Melalui dinamika sebuah string quartet (grup yang terdiri dari empat musisi yang memainkan alat musik string, seperti biola atau cello), Yaron Zilberman membuat saya mempertanyakan kalimat tanya diatas setelah menonton A Late Quartet. Apakah musik merupakan imitasi dari hidup atau sebenarnya hiduplah yang mengimitasi dinamika dalam musik?

Pertanyaan diawal tadi muncul, karena A Late Quartet bukanlah sekedar film tentang musik, tapi juga film tentang hidup. Dengan latar belakang musim dingin di New York yang cantik sekaligus dingin dan sepi, dikisahkan problematika yang dialami empat orang musisi handal yang tergabung dalam The Fugue Quartet. Ada Peter Mitchell (Christopher Walken) seorang cellist, sekaligus anggota tertua yang mengambil peran sebagai figur Ayah dalam kuartet ini, Daniel Lerner (Mark Ivanir) the perfectionist and obsessed first violinist, Robert Gelbart (Phillip Seymour Hoffman), the second violinist yang selama 25 tahun memendam keinginan untuk menjadi nomor satu baik dalam kuartet maupun dalam hati istrinya, yang sekaligus merupakan satu-satunya wanita dalam kuartet ini, Julliete Gelbart (Catherine Keener) the third violinist, sosok yang selalu berusaha mengharmonisasi bukan hanya musik, tapi juga individu-individu dalam kuartet.

Nama The Fugue sendiri bukan tanpa makna. Fugue dalam istilah musik merupakan sebuah teknik komposisi dalam bermusik yang melibatkan harmonisasi antara dua atau lebih suara, yang bisa berbeda-beda secara ritme dan pitch namun interdependent dalam harmonisasi. Dan seperti itulah kondisi masing-masing anggota The Fugue, bagaimana mereka memiliki kehidupan mandiri masing-masing dan punya kemampuan bermusik yang sama-sama hebat untuk menjadi soloist, namun memilih untuk saling bergantung dalam menciptakan harmonisasi musik.

Mencoba melakukan kontemplasi hidup, Zilberman menggunakan Opus 131 karya Beethoven dalam A Late Quartet. String quartet ini disebut-sebut sebagai favorit Beethoven, sekaligus musik (paling) sempurna dan revolusioner yang pernah dibuatnya. Selain digunakan sebagai pertunjukan terakhir The Fugue, Opus 131 juga menjadi sebuah metafora kehidupan yang berusaha ditampilkan Zilberman. Dijelaskan di awal film bahwa Opus 131, harus dimainkan secara ‘attaca’, play the almost 40-minutes-music, without pause, without stop, even for tuning or resting. So, when the instruments go out of the tune, what will the player do? Stop or struggle to adjusting and making cohesion with the other?

Sama seperti hidup. Dalam hidup, manusia meskipun bisa berdiri sendiri namun memilih untuk menjalin dan terikat dalam hubungan. Suami-istri, orang tua-anak, pertemanan, percintaan, dan semuanya dijalani dalam jangka panjang. Lantas ketika individu dalam hubungan tersebut berulah, keluar jalur atau hanya lelah, apakah ia harus berhenti atau berusaha sampai akhir, untuk memastikan hubungan tersebut bertahan? When all of the characters are getting ‘out of the tune’, what are they supposed to do? When they no longer healthy, doesn’t love each other anymore, or just tired become the-always-second-best, what will they do? Stop? Or keep struggling make cohesion with the other?

Film yang juga ditulis oleh sang sutradara ini menurut saya adalah jenis film yang tricky. Selain plot utama, ada kemunculan subplot – subplot lain yang kemudian menjadi kekurangan sekaligus kelebihan dalam film ini. Kelebihannya, jelas kehadiran subplot membuat film ini menjadi menarik, bahkan bisa membuat saya tertawa dengan tingkah laku Daniel, si perfeksionis yang bisa bertingkah irrasional. Subplot juga memberikan kesempatan bagi para aktor untuk memberikan kedalaman emosi lewat akting mereka, yang membuat film ini makin menarik. Sementara kekurangannya, rasanya klimaks dalam tiap subplot kehilangan ‘gong-nya’, atau malah si plot utama yang kehilangan momentum untuk membuat film ini ditutup dengan baik dan mengena bagi penontonnya.

Dalam post saya terdahulu, dikatakan bahwa film yang bagus adalah film yang bisa membuat penonton terkesan sehingga terus terkenang, dan A Late Quartet adalah jenis film itu menurut saya. Dibalik kekurangannya, saya menyukai ketika saya harus melibatkan proses berpikir dalam menyaksikan dinamika kehidupan para karakternya yang diiringi Opus 131 sebagai metafor yang enlightening sekaligus entertaining.  

No comments:

Post a Comment