Is life imitating art or perhaps the other way around? Who knows?
Melalui dinamika sebuah string quartet (grup yang terdiri dari empat
musisi yang memainkan alat musik string,
seperti biola atau cello), Yaron Zilberman membuat saya mempertanyakan kalimat tanya diatas setelah menonton A Late Quartet.
Apakah musik merupakan imitasi dari hidup atau sebenarnya hiduplah yang mengimitasi
dinamika dalam musik?
Pertanyaan diawal tadi muncul,
karena A Late Quartet bukanlah
sekedar film tentang musik, tapi juga film tentang hidup. Dengan latar belakang
musim dingin di New York yang cantik sekaligus dingin dan sepi, dikisahkan problematika
yang dialami empat orang musisi handal yang tergabung dalam The Fugue Quartet.
Ada Peter Mitchell (Christopher Walken) seorang cellist, sekaligus anggota
tertua yang mengambil peran sebagai figur Ayah dalam kuartet ini, Daniel Lerner
(Mark Ivanir) the perfectionist and
obsessed first violinist, Robert Gelbart (Phillip Seymour Hoffman), the second violinist yang selama 25
tahun memendam keinginan untuk menjadi nomor satu baik dalam kuartet maupun
dalam hati istrinya, yang sekaligus merupakan satu-satunya wanita dalam kuartet
ini, Julliete Gelbart (Catherine Keener) the
third violinist, sosok yang selalu berusaha mengharmonisasi bukan hanya
musik, tapi juga individu-individu dalam kuartet.
Nama The Fugue sendiri bukan
tanpa makna. Fugue dalam istilah
musik merupakan sebuah teknik komposisi dalam bermusik yang melibatkan
harmonisasi antara dua atau lebih suara, yang bisa berbeda-beda secara ritme
dan pitch namun interdependent dalam harmonisasi. Dan seperti itulah kondisi
masing-masing anggota The Fugue, bagaimana mereka memiliki kehidupan mandiri
masing-masing dan punya kemampuan bermusik yang sama-sama hebat untuk menjadi soloist, namun memilih untuk saling
bergantung dalam menciptakan harmonisasi musik.
Mencoba melakukan kontemplasi
hidup, Zilberman menggunakan Opus 131 karya Beethoven dalam A Late Quartet. String quartet ini disebut-sebut sebagai favorit Beethoven,
sekaligus musik (paling) sempurna dan revolusioner yang pernah dibuatnya. Selain
digunakan sebagai pertunjukan terakhir The Fugue, Opus 131 juga menjadi sebuah metafora
kehidupan yang berusaha ditampilkan Zilberman. Dijelaskan di awal film bahwa Opus
131, harus dimainkan secara ‘attaca’,
play the almost 40-minutes-music, without
pause, without stop, even for tuning or resting. So, when the instruments go
out of the tune, what will the player do? Stop or struggle to adjusting and
making cohesion with the other?
Sama seperti hidup. Dalam hidup,
manusia meskipun bisa berdiri sendiri namun memilih untuk menjalin dan terikat
dalam hubungan. Suami-istri, orang tua-anak, pertemanan, percintaan, dan
semuanya dijalani dalam jangka panjang. Lantas ketika individu dalam hubungan
tersebut berulah, keluar jalur atau hanya lelah, apakah ia harus berhenti atau
berusaha sampai akhir, untuk memastikan hubungan tersebut bertahan? When all of the characters are getting ‘out
of the tune’, what are they supposed to do? When they no longer healthy,
doesn’t love each other anymore, or just tired become the-always-second-best, what
will they do? Stop? Or keep struggling make cohesion with the other?
Film yang juga ditulis oleh sang
sutradara ini menurut saya adalah jenis film yang tricky. Selain plot utama, ada kemunculan subplot – subplot lain
yang kemudian menjadi kekurangan sekaligus kelebihan dalam film ini.
Kelebihannya, jelas kehadiran subplot membuat film ini menjadi menarik, bahkan
bisa membuat saya tertawa dengan tingkah laku Daniel, si perfeksionis yang bisa
bertingkah irrasional. Subplot juga memberikan kesempatan bagi para aktor untuk
memberikan kedalaman emosi lewat akting mereka, yang membuat film ini makin
menarik. Sementara kekurangannya, rasanya klimaks dalam tiap subplot kehilangan
‘gong-nya’, atau malah si plot utama yang kehilangan momentum untuk membuat
film ini ditutup dengan baik dan mengena bagi penontonnya.
Dalam post saya terdahulu, dikatakan
bahwa film yang bagus adalah film yang bisa membuat penonton terkesan sehingga
terus terkenang, dan A Late Quartet
adalah jenis film itu menurut saya. Dibalik kekurangannya, saya menyukai ketika
saya harus melibatkan proses berpikir dalam menyaksikan dinamika kehidupan para
karakternya yang diiringi Opus 131 sebagai metafor yang enlightening sekaligus
entertaining.
No comments:
Post a Comment