Monday, April 29, 2013

The Kids Are All Right (2010) : Happy Family isn't always Heterosexual.


Witty, attractive and fun, those were in my mind after I finished with The Kids Are All Right by Lisa Cholodenko. It is an urbane movie about an unconventional family who living their life as normal as every other family. This movie is called by the director as “an interesting way to work with this kind of characters (homosexual)”.



The Kids Are All Right arahan Lisa Cholodenko bukanlah gay movie biasa, yang menceritakan perjuangan gay. Film ini mengisahkan kehidupan Nic (Annete Bening) dan (Jules (Julianne Moore) yang merupakan sepasang lesbian di akhir usia 40’an, dan harus membesarkan dua orang anak remaja, Joni (Mia Wasikowska) dan Laser (Josh Hutcherson). Namun tema utama yang hendak disampaikan oleh Cholodenko, justru bukanlah drama percintaan sesama jenis, melainkan simply drama keluarga, which is a story about the ups and downs in building a family.

Cholodenko bisa dibilang melakukan penggambaran keluarga yang anti-mainstream. Keluarga Nic dan Jules adalah keluarga bahagia, mereka hidup berkecukupan dengan Nic sebagai tulang punggung yang bekerja sebagai dokter, Jules menjadi sosok ‘ibu’ yang merawat dan fokus pada perkembangan anak-anak. Keduanya hidup bahagia melewati naik-turunnya hubungan dan mengalami mid-life crisis like other people. Sedangkan kedua anak mereka, Joni merupakan siswi pintar yang akan segera masuk ke universitas, dan Laser, sedikit unfocused, tapi tampaknya tidak kekurangan cinta kasih dari kedua ibunya.

Drama dimulai ketika Joni dan Laser berkeinginan – tanpa alasan yang jelas – menemui ayah biologis mereka, yakni pendonor sperma misterius yang turut berperan dalam ‘asal mula’ mereka berdua. Akhirnya ditemukanlah sosok Paul (Mark Ruffalo), seorang restaurateur yang bergaya hidup bebas, santai, memiliki kepribadian hangat dan mempesona.  

Sosok Paul, diluar penampilannya yang begajulan, rupanya adalah pribadi yang menyenangkan dan menikmati pengalaman barunya sebagai ayah dua orang remaja. Ia dengan mudahnya menarik hati Joni dan Laser, bahkan mendorong keduanya untuk bertindak lebih baik dan dewasa. Meski Paul selama ini tak berpengalaman dalam komitmen, ia tampak sangat mendalami perannya sebagai sosok ayah. Mark Ruffalo berhasil membawakan peran Paul dengan apik dan mendapatkan simpati saya, sehingga saya merasa lega akhirnya Joni dan Laser berkemungkinan memiliki potret keluarga lengkap dengah hadirnya sosok ayah (see, how my state of mind have been constructed with the normative family idea, father-mother-and-kids).

Drama terjadi ketika bukan hanya anak-anak yang terpesona dengan Paul’s charm, tapi juga Jules yang kemudian terlibat sexually (and emotionally?) dengan Paul. Disini Cholodenko melakukan hal yang tidak saya sadari, sampai ketika saya hendak menulis review ini. Melalui The Kids Are All Right, Cholodenko tengah menarik garis batas moral yang saya (dan penonton) miliki. Sepasang wanita yang merupakan penyuka sesama jenis, lalu salah satunya selingkuh dan had sex dengan seorang pria, yang sebenarnya merupakan hal yang lumrah secara normatif dan biologis. Lantas mana yang akan saya dukung, perselingkuhan atau kesetiaan dengan pasangan yang sejenis?

Bukan hanya itu, sosok Paul yang sudah berhasil mengambil simpati anak-anak, justru menjadi sosok parasit yang menggerogoti keluarga Nic dan Jules. Ketika saya baru merasa, bahwa akhirnya akan terbentuk keluarga yang lengkap (dalam ukuran normatif), Cholodenko memutarbalikkan ‘kenyamanan’ itu dan memberikan twist yang menarik.

Sebenarnya tidak ada yang baru dengan isu-isu dalam film ini, diluar semua kerumitan hubungan segitiga dalam bentuk homoseksual dan heteroseksual, The Kids Are All Right menunjukan problematika keluarga pada umumnya. Tema perselingkuhan, orang tua yang overprotektif atau pasangan yang terlalu mengkritik, adalah isu yang biasa diangkat dalam film drama manapun. Mungkin inilah cara Cholodenko menunjukan bahwa pasangan gay juga bisa menjalani hidup sebagaimana orang lain dan menghadapi problematika seperti orang lain.

Dengan drama yang menarik, narasi yang mengalir ringan dan effortlessly funny, Cholodenko seperti tengah memberikan opsi mengenai keluarga, bahwa keluarga bisa dibentuk dengan berbagai cara, dan beranggotakan baik sejenis maupun berlawanan jenis kelamin. Toh pada akhirnya yang terpenting adalah the kid are all right, and so does the family.    

No comments:

Post a Comment