Saturday, November 23, 2013

Gravity's Spinoff, Aningaaq. Seven Minutes from Earth to Space (2013)

Gravity jelas salah satu film paling remarkable tahun ini. Bahkan bisa disebut sebagai film terbaik yang rilis di 2013. Saya biasanya bukan fans dari film sci-fi, tapi Gravity jelas film sci-fi paling menarik yang pernah saya tonton. Kombinasi pengolahan skrip yang digabungkan dengan teknik sinematik dan akting yang ciamik, membuat film ini saya sebut sebagai masterpiece dari Alfonso Cuarón (baca review lengkap saya disini).

Lalu beberapa hari lalu saya menemukan artikel mengenai nominasi Academy Awards untuk kategori Live-Action Short, dan salah satu yang diunggulkan adalah Aningaaq, spinoff dari Gravity. Akhirnya baru hari ini saya berkesempatan untuk menyaksikan film ini, dan hasilnya saya merinding.

Aningaaq (written and directed by Jonas Cuarón)


Melihat dari setting film ini yang ada di suatu tempat berselimut salju, tentunya janggal jika film ini berkaitan dengan Gravity yang settingnya di luar angkasa. Tapi rupanya film ini justru punya hubungan erat dengan Gravity. Membuat saya 'ber-aaah-ohhh ria' ketika menyaksikannya. Bagi yang sudah menonton Gravity, jelas harus menyaksikan Aningaaq dan menemukan koneksi menarik antara kedua film ini. 

Satu hal lagi yang membuat saya kagum, bahwa film ini ditulis dan disutradarai oleh Jonas Cuarón, co-writer dari film Gravity itu sendiri.Saya tidak habis pikir bagaimana dia bisa terpikir untuk membuat film ini, sebagai pelengkap dari Gravity

Aningaaq mungkin seperti tujuh menit yang remeh dan tidak penting. Tapi justru film ini punya peran yang begitu besar untuk pada ending Gravity. Hanya tujuh menit yang sederhana dalam universe yang begitu luas dan tak terbatas.  




Monday, November 11, 2013

Third Star (2010) : A Fun Camping Trip

“The sickness is mine but the tragedy is theirs” –James



Membuat film tentang orang yang sekarat bukanlah hal yang mudah. Kalau tidak berhati-hati, maka film akan menjadi over melodramatic, berisi orang-orang berlinangan air mata dan perpisahan yang cheesy. Jenis film yang saya hindari. Namun berbeda dengan Third Star, yes it still tear-jerker movie, tapi setidaknya film ini tidak masuk dalam kategori menye-menye yang membuat saya geli ketika menyaksikannya.

Third Star is a feature film debut by Hattie Dalton, Brits director who was once winning a BAFTA award. She collected the most promising young Brits actors for played as four best friends in Third Star. As a simple explanation, Third Star is a movie about camping trip, but it wasn’t an ordinary camping trip. It was a last wish of James Kimberly Griffith (Benedict Cumberbatch) who terminally ill because of cancer. He want to escape from ‘his pitying mob’ a.k.a his family, because they – and also himself – know that he can’t make any longer because of the illness. So he summoned his best friends to accompanied him on a trip into Barafundle Bay, James most favorite place in the world. Davy (Tom Burke), unemployment who dedicated his time to take care of James. Bill (Adam Robertson), a fun-loving bloke who got into problematic relationship and it sucked the live out of him. And the last is Miles (J.J Feild), James closest friend, who had kept away from him when he got sick.

It was a fun trip. They shared dirty jokes and laughed about it. They also were fooling around acted like children. Dalton menampilkan perjalanan ini dengan begitu drama-ish, with soft colors, sun-kissed and blurred vision. Nothing extraordinary. Di pertengahan film, lack of experience dari sutradara mulai terasa. Adegan demi adegan terkesan lepas tidak terarah. Adegan yang seharusnya menjadi metafora dan dilengkapi karakter tambahan justru terkesan pointless. Tapi kekurangan itu tertolong dengan dialog cerdas serta chemistry yang meyakinkan dari keempat aktor muda tersebut.

Miles (Feild), Bill (Robertson), James (Cumberbatch), Davy (Burke)


Cumberbatch was the star of all four. James wasn’t an optimist ill person. He becomes egomaniac who does tend to speak harshly with his friends. His bitterness comes along with the feeling when he realized that his life become so meaningless with so much pain. He feel disappointed with his friends, because he thought they weren’t living the life to the fullest. He said, “I’d take any one of your pointless consumer-f*cker lives.” Yes, Cumberbatch got all the clever lines in the movie. My favorite line of his is, “All those daydreams become fantasies rather than possibilities.” Cumberbatch really change from manipulative-space-terrorize in Star Trek into sick-person-with-sharp-tongue.

Selain Cumberbatch, Burke juga memberikan acting yang menarik. Davy adalah figur yang memegang tanggung jawab disini. Ia tidak pernah pergi dari sisi James. His caretaker position was well played. He was the one who worried about the tent when it burned because of the fireworks, and about the food to make sure that James could go through the trip. He holds himself back with all the doofus around him. He had to watch James and his two friends so they could reach the bay safe and sound. But, with his ‘motherhood’ comes funny things, like the lines he said after the tent got burned and they had to sleep in one tent. Davy said, “I got my knife with me, so if one of you start going ‘Brokeback’, I’ll start going ‘Rambo’. Hilarious.

Dalton mampu menyeimbangkan aspek komedi lewat dialog dan perilaku kekanak-kanakan keempat karakter, dengan unsur drama yang berasal kondisi James dan kehidupan yang dialami ketiga sahabatnya. Cara Dalton menampilkan persabahatan keempat karakter dalam film ini menarik. Davy, Miles dan Bill berkali-kali harus menjadi sasaran sindiran James. Meskipun ketiganya muak pada James, tapi pada akhirnya mereka tetap bisa tertawa bersama, tanpa harus prosesi permintaan maaf yang chessy dan unmanly.


Lepasnya fokus pada pertengahan film terbayar 20 menit menjelang akhir film. James akhirnya menjelaskan maksud dari camping trip tersebut. Permintaan terakhir James kepada ketiga temannya jauh lebih besar dari sekedar menemaninya melihat pantai. James menginginkan kesempatan terakhir untuk merasakan perjuangan mengatasi rasa takut. Mungkin beberapa orang akan merasa akhir film ini menyalahi moral, tapi itu adalah salah satu adegan ending film yang menarik. It was probably unlikeable but it was served in modest way, not too much talking and arguing. Simple but intense. Some people might see the ending as a tragedy but if you see from James’ is just his way to win his life back. It was his way to winning over something, like illness.


ps: another favorite lines from Third Star,

"So I raise a morphine toast to you. And, should you remember that it's the anniversary of my birth, remember that you were loved by me and you made my life a happy one. And there's no tragedy in that." -James

Saturday, November 2, 2013

Thor: The Dark World (2013): Bigger, Funnier But Not Really Better than the First

Marvel have a receipt of ‘How to make box office superhero movies’, and it is a mix between spectacular actions, impressive visual effect, grande adventure and some of good humors, and those elements include in the newest Marvel superhero franchise, Thor: The Dark World. Directed by Alan Taylor (directing several episodes of Mad Men, Game of Thrones, and The Sopranos), this sequel is bigger, funnier and more sci-fi than the first one. But is it really better than the first one? Hmm, let me do some descriptions here.




Sequel Thor ini jelas jauh lebih besar dibanding film pendahulunya. Marvel punya ambisi untuk menjadikan film ini sebanding dengan The Avengers dan Iron Man 3. Ini terlihat jelas dari masalah yang harus diselesaikan Thor (Chris Hemsworth), bukan hanya bumi, kini Thor harus menyelamatkan tidak hanya satu, melainkan sembilan galaksi! Death Elves (sound like Tolkien goes galactic) yang dipimpin oleh Malekith (Christopher Eccelston) mengancam hendak menghancurkan Nine Realms (sembilan galaksi) dengan Aether, a source of destructive and dark power. Sayangnya ambisi Marvel tidak sebanding dengan plot yang kemudian dikembangkan.

Jika mengikuti apa yang terjadi pasca The Avengers, dimana seorang Tony Stark saja kemudian mengalami perubahan besar baik mental dan fisik (Iron Man 3), wajar rasanya jika Thor mengalami hal yang sama. Sementara itu untuk sebuah film dengan musuh super kuat yang mengancam kehidupan di SEMBILAN GALAKSI dan berhasil menginvasi Asgard, rumah para dewa, Thor: The Dark World tidak menunjukan teror dan kengerian yang seharusnya dibawa oleh musuh sekuat Malekith. Plot yang tidak cukup kuat mendukung ambisi besar Marvel, membuat film ini tidak jauh berbeda dari film pendahulunya.
Visual effect yang dihadirkan memang jauh lebih baik dibandingkan film pertama. Asgard dihadirkan dengan begitu indah dan megah, sebagaimana tempat tinggal para dewa. Tempat tinggal Odin tersebut bernuansa middle earth, seperti legenda Nordic, tapi tetap high-tech, dengan dungeon glass-like-material and some kind laboratory. Detail favorit saya dalam film ini adalah perisai yang digunakan oleh tentara Asgard, yang bercahaya setiap kali ditempa senjata. Detail kecil sebagai sentuhan magis, untuk menunjukan bahwa level mereka jauh diatas manusia.

Dan bukan hanya efek visual yang jauh berkembang. Karakter-karakter yang ada pun diberikan (sedikit) keleluasaan untuk berkembang. Odin (Anthony Hopkins) seorang raja agung yang mengalami guncangan hebat, sehingga kemampuannya memimpin agak terganggu. Sif (Jaime Alexander) walaupun hanya diawal tapi cukup memberikan kesan, sebagai seorang ksatria wanita. Bahkan Frigga (Rene Russo), queen of Asgard punya kesempatan untuk unjuk gigi. Justru karakter Jane Foster (Natalie Portman) yang tidak berkembang meskipun diberikan posisi vital dalam kisah kali ini, ia tetap damsel in distress and she just has fainted repeatedly.

Thor: The Dark World ingin menampilkan perubahan pada diri Thor pasca tragedy The Avengers di New York. Hanya saja hal tersebut seperti tidak diangkat dengan benar-benar matang. We know that he changed, and also he missed his lover, Jane. But it because the movie told us, not showed to us. It might be little bit lack of emotions, even when finally he back to earth to meet Jane, it little bit dull for me. On the other hand it was good, because it make the movie less cheesy than the first one.



Mungkin yang paling mencuri perhatian adalah Tom Hiddleston. Loki’s bitterness and tongue-in-cheek humors really stealing the show. One of my favorite scenes is when Loki and Thor walk together, after the former was released from the dungeonLoki showed his ‘little brother’ character which is always annoyed the older one (watch out for cameo performance from…). His humors were written so well, and Hiddleston bring it in remarkable way. As a villain he is not really frightening, but he is unpredictable and that’s scary. He is God of Mischief with his illusion tricks, and only God knows what exactly he is planning to do. Sedangkan musuh sebenarnya, Malekith was a so-so performance by Eccleston. He is evil and the arch-enemy of Asgard but not so terrifying.

Superhero movie is incomplete without a fantastic final battle, and Taylor try to delivered it with Marvels’ way, destructive, great visual effect, physical and humors. Sebagian besar adegan pertarungan ber-setting di luar bumi, maka visual effect benar-benar diandalkan, belum lagi dengan pesawat-pesawat luar angkasa yang membuat film ini menjadi kental nuansa sci-fi dibandingkan film superhero. Like The Avengers and Iron Man 3, Thor: The Dark World get its own remarkable final battle. When Thor and Malekith fight each other and jumping between earth and other realms, it is very funny and unusual fighting scene.


Usai menyaksikan film ini saya berpikir bahwa plot dan musuh seperti Dark Elves sebenarnya bisa dikembangkan bahkan untuk sekuel The Avengers. It has bigger villain and more ambitious plans, it’s really a big potential. In the end this movie still not better than the first one, instead of darker and deeper it becomes funnier and lighter. Thanks for the good humors!


PS: Watch until the very end of the movie. It has TWO extended scenes! 

Thursday, October 10, 2013

The Ghost Writer (2010): Not-So-Stereotypical-Thriller

Sebuah film bergenre thriller tidaklah harus selalu dipenuhi dengan kejutan, aksi penuh kejar-kejaran menegangkan yang dibuat sensasional dengan musik bombastis. Film thriller bisa tampil dengan alur yang tenang, tanpa kekerasan, sleek editing, tapi tetap membuat jantung berdebar-debar, seperti yang dilakukan Roman Polanski dalam The Ghost Writer. Meski tidak ada kejutan meledak-ledak dan cutting khas a la film thrillerThe Ghost Writer memberikan suspense dan teror khas yang biasa dirasakan ketika menyaksikan film thriller.



The Ghost Writer merupakan film adaptasi dari novel The Ghost (2007) karya Robert Harris. Novel Harris sendiri dikaitkan dengan skandal politik yang menyeret nama Tony Blair dan George W Bush, tapi Polanski rasanya tidak menyutradarai film ini semata-mata untuk menyindir mantan pemimpin kedua negara tersebut, tapi untuk menunjukan kepiawaiannya merangkai kisah intrik politik menjadi suatu yang begitu menarik sekaligus penuh teror.

Sosok utama dalam film ini tak memiliki nama, hanya disebut sebagai Ghost (Ewan McGregor), a very capable and intelligent writer. This British writer is very awkward, slightly acid and very good with punchlines. Meskipun mengaku tak memahami politik, ia sepakat untuk menulis biografi mantan Perdana Menteri Inggris, Adam Lang (Pierce Brosnan). Ghost diminta untuk meneruskan pekerjaan Mike McAra, ghostwriter pendahulunya, yang tewas karena bunuh diri. Untuk pekerjaannya ini, Ghost kemudian menetap di kediaman Lang di AS, sebuah rumah pantai di pulau yang sepi. Kediaman Lang seperti tak mengenal matahari. Hujan sering turun, sementara langit, laut dan pasir sama-sama berwarna kelabu. Seakan menjadi pertanda awal bagi penonton bahwa it’s a bad business, so something very ugly is about to happenAmbience keseluruhan film sendiri dibuat begitu gelap, gloomy and depressing. Layar didominasi warna-warna monochrome, which is given daunting atmosphere for the movie. Penghuni kediaman Lang sendiri tampak tak wajar. Amelia Bly (Kim Catrall), asisten sekaligus mistress Lang yang tampak penuh rahasia. Serta Ruth Lang (Olivia Williams), istri dari Adam yang merupakan wanita cerdas tapi mulai kehilangan kedekatannya dengan sang suami.

Pekerjaan Ghost menjadi rumit ketika Lang mendapat tuduhan sebagai penjahat perang dan akan segera diperiksa oleh mahkamah internasional. Kediaman Lang jadi ramai dengan demonstran dan wartawan yang sibuk mencari berita. Ghost yang seharusnya hanya menulis biografi Lang, ikut terseret dalam skandal politik besar yang melibatkan dua negara. Ghost yang merasa bahwa skandal politik Lang ada kaitannya dengan kematian ghostwriter pendahulunya, kemudian mulai menyelidiki hubungan diantara peristiwa-peristiwa tersebut, termasuk masa lalu Adam Lang yang menurutnya mencurigakan.

Disinilah Polanski patut diacungi jempol. Ia tidak merubah Ghost tiba-tiba menjadi reporter investigatif yang pandai menemukan petunjuk dan melacak jejak. Petunjuk-petunjuk muncul seperti kebetulan, tiba-tiba hadir dihadapannya. Ghost menyelidiki semuanya tanpa terburu-buru dan begitu mengalir. Ghost meraba satu persatu petunjuk yang ada, bertanya serta percaya pada orang yang salah dan terlalu cepat menarik kesimpulan, persis seperti bagaimana amatir yang awam akan politik mencoba mendalami konspirasi politik. Petunjuk penting yang dipahami Ghost hanya satu, bahwa manuskrip awal biografi Lang adalah kunci penting dari semua kasus yang ada.

McGregor tampil dengan sangat baik dalam film ini. He could bring the wittiness and sharpness as a smart writer but also convincing as a spaced-out invisible outsider. Penampilan McGregor membuat sosok Ghost menjadi hidup. Apa yang ia rasa dan takuti seakan menular pada saya, tanpa perlu melihatnya lari tunggang langgang dikejar psikopat atau dihujani tembakan. Selain McGregor, Williams juga bersinar dalam perannya melalui emosi dan sisi rapuhnya yang menimbulkan simpati. Namun ia juga mampu menunjukan bahwa Ruth adalah wanita yang cerdas dan powerful. Hanya penampilan Brosnan yang tidak begitu memuaskan. Bermain sebagai sosok politikus yang mempesona bukanlah sebuah tantangan bagi mantan Mr.Bond yang memang penuh pesona. Namun Brosnan gagal membuat Adam Lang menjadi karakter yang menonjol. Dari awal kemunculannya dalam film, ia mudah ditebak, penonton dengan mudah menduga, he’s with the bad guys.

I think the best part of this movie is the humorsI’m very surprised when I found out that this movie is comically funny. Sangat cerdas dengan punchline-nya sekaligus tetap elegan. I found myself laughing while watching this movie, which is odd because it is a political-thriller movie, and that’s one proof that Polanski is a great director.

Pada akhirnya saya tidak peduli apakah ending film ini memuaskan atau tidak, apakah penyebab kematian McAra terungkap, atau apakah the bad guys finally get punished or whatsoever. Menurut saya The Ghost Writer adalah film yang menarik, cerdas, menghibur sekaligus memberikan ketegangan khas film thriller tanpa mengikuti stereotype film yang biasa didominasi aksi kejutan dan kekerasan. The Ghost Writer ditulis dan disutradarai dengan cerdas, dan itulah yang membuat pada akhirnya Roman Polanski is the hero. He is the one who’s going to get the applause, because he is just amazing.

PS: Here my favorite dialogue:

Ghost: Emmett must have told Lang I've been to see him.
Rycart: So what's he going to do about it? Dump you in the ocean?
Ghost: Well it happened before.
Rycart: Which means it can't happen again. He can't drown two ghostwriters, for God's sake! You're not kittens.

                                                                                                                -The Ghost Writer

Gravity (2013) : Simplicity and Masterpiece



It’s like ballet performance in space. 13 menit adegan pembuka dalam uninterrupted shot yang langsung membawa kita ke angkasa luar, dengan penampilan bumi di bawah kita, langit gelap yang bertabur bintang, dan suasana hening. Lantas perlahan terdengar suara percakapan para astronot dengan Houston (pusat kendali NASA). Dr Ryan Stone (Sandra Bullock), Matt Kowalski (George Clooney) dan Shariff (Paul Sharma), ketiganya melayang dan berputar-putar di angkasa luas.

There is some kind motion sickness feeling while I watching the opening scene. I see the shuttle space moving, the earth rotate and also the astronauts do spinning around. I feel little bit upside down sensation, just like when you are in some kind of rides at amusement park. I feel like floating in the space, like the astronauts.

Gravity merupakan film dengan setting antariksa, tanpa monster, tanpa aksi pistol laser atau teknologi masa depan. Film ini memiliki plot yang sederhana (and predictable). Tapi dengan tangan dingin Alfonso Cuarón, cerita sederhana itu mampu menjadikan dirinya sebagai salah satu kandidat kuat untuk masuk ke nominasi Best Director Academy Awards tahun depan.

Absennya teknologi futuristik dan aksi bombastis tak membuat film ini kekurangan gereget. Dengan persiapan dan pengerjaan yang begitu tekun (empat tahun pengembangan dan lebih dari satu tahun di post-production), film ini justru begitu kuat, intense dan thrilling. Perpaduan skrip yang matang, sinematografi yang cantik dan sound yang tepat membuat Gravity menjadi tontonan yang lebih dari memuaskan.

Sedikit cerita tentang pembuatan film ini. Sejak awal, Alfonso Cuarón memang menginginkan film ini bercerita tentang hal yang sederhana, dimana penonton bisa merasakan sebagai sebuah kenyataan. Bersama dengan sinematografer, Emmanuel Lubezki (The Tree of Life), Cuarón membangun film ini perlahan-lahan selama empat tahun. Gravity nyaris tidak bisa dibuat, karena teknologi yang ada tidak mampu mewujudkan visi Cuarón dan Lubezki, sementara budget yang diberikan pun tak terlalu besar. Ditengah ketidakpastian, Cuaron, Lubezki dan tim tetap bekerja menyusun film ini dengan sangat detail. Every shot, every angle, every lighting scenario, even every second had to be preordained. They even tested all technologies that existed, to look if there is something which could use in this movie. But in the end, they invented the technology.

I watched Gravity on IMAX 3D. It was amazing experience. I ducked when I saw some debris moving fast toward me. But the sound and silences are something! Hanya dengan menggunakan kombinasi suara dan keheningan mendadak, Cuarón mampu menciptakan ketegangan. Salah satu adegan favorit saya adalah ketika kapsul penyelamat yang dinaiki Stone terbuka tiba-tiba di angkasa, lalu mendadak hening, seakan semua ikut menanti apa yang terjadi dengan Stone. I even hold my breath while watching it.

Sandra Bullock as dr Ryan Stone


Selain memang unsur teknis yang luar biasa, peran Bullock dan Clooney juga menyempurnakan film ini. Sebagai veteran astronaut, Clooney mebawakan karakter Kowalski penuh pesona. He is charming, comfortable and very experienced in life and space. Tapi, spotlight dalam Gravity adalah Sandra Bullock. Meskipun ia adalah aktris cadangan (pilihan ketiga setelah Angelina Jolie dan Natalie Portman), justru Bullock  yang paling tepat untuk peran ini. Bullock menampilkan performa terbaiknya dalam Gravity, yang menurut saya pantas diganjar minimal nominasi Academy Awards mendatang. She has the charm and intelligence to bring the character. As if everything that she said or do in the movie are perfectly fit and giving the touch of midas. Dalam film ini Bullock banyak melakukan monolog, yang justru berperan besar dalam memberikan unsur dramatis dalam film.


Ada sedikit sensasi after-Life of Pi dalam Gravity. Ada selipan pesan moral mengenai life and nothingness. Tapi pesan moral ini hanya jadi pelengkap paket yang disajikan film ini. Gravity adalah sebuah masterpiece, memadukan unsur teknis yang canggih dengan skrip yang begitu well-written. Hasil ketekunan dan kengototan Alfonso Cuarón ini menjadi film yang sederhana sekaligus luar biasa megah.