Monday, December 28, 2015

The Danish Girl: The Messed-up Storytelling

Queer cinema always fascinates me. Terlebih ketika film produksi Hollywood yang mencoba melangkah ke area yang selalu sulit untuk diterjemahkan. Menarik untuk melihat bagaimana interpretasi seorang sutradara dan rumah produksi Hollywood terhadap isu queer. Untuk kalian yang tidak tahu apa itu queer, istilah ini merupakan istilah awam yang biasa ditujukan untuk menyebutkan kelompok gay atau transgender. Namun sebenarnya, istilah queer tidak terbatas pada itu saja, melainkan dapat digunakan pada semua spektrum seksualitas, di luar heteroseksual. 



Sekedar informasi, The Danish Girl sendiri termasuk dalam kategori Queer Cinema, yang antara lain didefinisikan dengan tiga kriteria yang antara lain; dibuat oleh seorang queer, mengangkat tema yang berkaitan dengan isu queer, atau diceritakan dari sudut pandang queer. The Danish Girl mengangkat isu queer dengan mengisahkan kehidupan Einar Wegener, seorang pelukis populer yang menjadi orang pertama yang melakukan operasi pergantian kelamin, yang termasuk dalan kategori queer. 

Film ini merupakan karya sutradara Tom Hooper yang telah banyak mencetak prestasi lewat karya sebelumnya yakni The King’s Speech dan Les Miserables. Lewat The Danish Girl, Tom menghidupkan kembali momentum besar dari sejarah transgender. Lili Elbe adalah wanita pertama yang menjalani operasi perubahan kelamin dan kemudian identitasnya juga berubah secara hukum. Sebagai catatan, film ini tidak seratus persen menjejak pada realitas secara keseluruhan. Film ini hasil adaptasi dari novel yang terinspirasi dari kehidupan Einar Wegener. Jadi lebih tepat jika film ini disebut ‘terinspirasi dari kisah nyata’.

Kisah dimulai dengan sekilas hubungan Einar (Eddie Redmayne) dan istrinya Gerda Wegener (Alicia Vikander). Hubungan keduanya harmonis, meskipun sama-sama pelukis, kehidupan mereka tampak bahagia, penuh canda, dan kasih sayang. Gerda adalah sosok wanita berjiwa bebas dengan opini yang kuat. Ia menyeimbangkan Einar yang lebih pendiam, senang menjadi pengamat, dan memuja Gerda sepenuh hati.

Eddie Redmayne sebagai Lili Elbe/Einar Wegener

Transformasi Einar dimulai ketika Gerda memintanya menjadi model untuk lukisan ballerina yang tengah dibuatnya. Mengenakan stocking dan sepatu berhak, serta memegang baju wanita, Einar seakan menemukan sisi dirinya yang lain. Dari momen ini semuanya berlanjut, Einar kemudian mengikuti permainan Gerda, berpura-pura menjadi wanita untuk menemani Gerda ke sebuah pesta. Secara total pasangan ini menyiapkan kamuflase, tanpa mereka tahu bahwa ini adalah awal dari perubahan besar dalam hidup mereka.

Sosok Lili pun lahir untuk pertama kalinya. Mendebarkan sekaligus menyenangkan bagi Einar. Konflik muncul saat Lili terlalu jauh mengikuti instingnya dan terpikat pada Henrik (Ben Wishaw). Gerda pun mulai melihat suaminya berubah. Peristiwa itu membuatnya tidak bisa kembali utuh menjadi suami Gerda. Lili semakin nyata, menenggelamkan Einar.

Eddie Redmayne adalah aktor yang luar biasa. Ia meraih Oscar, Bafta, dan Golden Globe, serta sederet penghargaan lainnya berkat perannya dalam The Theory of Everything. Berbeda dengan tantangan fisik ketika ia bermain sebagai Stephen Hawking, kali ini ia ditantang untuk menunjukan perubahan gender. Tak kasat mata tapi harus terkesan nyata. Transformasi Lili bukan sekedar urusan makeup atau gerakan gemulai. Eddie harus menjadi transparan, membiarkan audiens yang mayoritas cisgender bersimpati padanya. Terhadap konflik batinnya. Sayangnya visi tidak berhasil. Eddie hanya semata-mata memanfaatkan gestur dan raut wajah tanpa betul-betul menyampaikan apa rasanya menjadi seorang Lili.

Alicia Vikander sebagai Gerda Wegener

Mungkin kekurangan ada pada interpretasi filmnya. The Danish Girl seharusnya bercerita tentang Lili Elbe, wanita yang menemukan jati dirinya dibalik ‘kesalahan’ fisiknya. Namun film ini justru membiarkan Gerda mengambil posisi utama terlalu banyak. Kemelut Gerda sebagai sosok yang kehilangan suami namun tetap menjadi sahabat yang baik, diperlihatkan begitu nyata dan kuat oleh Alicia Vikander. Memang posisi Alicia jauh lebih mudah. Siapapun akan bersimpati pada sosok heroine yang harus mengorbankan dirinya demi kebahagiaan orang lain, bukan?

Permasalahan semakin nyata ketika menyadari screenplay karya Lucinda Coxon gagal menampilkan semangat dari sosok Lili Elbe. Justru malah terperangkap dalam drama heteroseksual yang bahkan buat sosok utama. Extreme close-up khas Tom yang mungkin berhasil di Les Miserables, justru kali ini tak lebih dari sekedar dramatisasi yang mengganggu. Membesar-besarkan air mata, justru melupakan hal terpenting yakni semangat Lili Elbe untuk bebas menjadi dirinya sendiri. Menentukan nasibnya sendiri.

The Danish Girl jelas masuk dalam deretan queer cinema jika merujuk pada karakteristik yang ada, namun ia adalah anomali. Ia diangkat dari novel yang tidak sepenuhnya menceritakan kebenaran, dan kisahnya juga semakin terpecah ketika harus diadaptasi lewat visi Hollywood. Hanya menyentuh permukaan dan bermain pada identitas, tanpa benar-benar fokus pada kisah aslinya. Pada akhirnya The Danish Girl masuk dalam jajaran film Hollywood lainnya yang hanya mengusung sensasionalitas dari tema transgender untuk meraih penonton. So it’s another missed opportunity for Hollywood, better luck next time!



PS: I've been so lazy to fill this blog, so I hope in the upcoming years I will be more dedicated and diligent with this blog! See you in 2016, and Happy New Year!

Monday, September 7, 2015

A Separation (2011): 'A Fast and Furious' from Iran

I know it’s already to late to talk about this movie. But since I just finished it several days ago, I really want to talk about this movie. Film yang meraih Best Foreign Language Film di ajang Oscar beberapa tahun lalu ini rasanya tepat untuk mengawali kembali aktifnya blog ini.



Menyaksikan A Separation rasanya seperti mengintip kehidupan dua keluarga yang berbeda, dari kelas sosial yang berbeda, dan permasalahan masing-masing, yang saling berbenturan di tengah membentuk jalin konflik yang terhubung dengan kondisi sosial dan aspek religi di Iran.

Tirai pertunjukan dibuka Asghar Farhadi dengan adegan yang kuat. Sepasang suami istri, Nader (Peyman Moadi) dan Simin (Leila Hatami) dengan menggebu-gebu mengajukan tuntutan perceraian mereka. Simin mengatakan ketidakmauan Nader untuk meninggalkan Iran adalah alasannya menceraikan sang suami, bukan karena keburukan tingkah laku. Awalnya Nader dan Simin sepakat untuk pergi ke luar negeri demi mencari kehidupan yang lebih baik, terutama untuk anak perempuan mereka yang tengah beranjak remaja, Termeh (Sarina Farhadi). Namun Nader mundur dari rencana tersebut, dengan alasan tidak bisa meninggalkan ayahnya yang menderita Alzheimer.

Adegan pembuka antara Simin dan Nader.


Lewat sepenggal adegan pertama, kita belajar begitu buruknya kondisi di Negara asal sang sutradara. Hingga bisa mengguncang mahligai rumah tangga yang telah terjalin belasan tahun. Adegan demi adegan berlanjut, makin memperjelas gambaran mengenai Iran dengan konteks sosial, ekonomi, budaya, dan juga agama. Tuntutan perceraian yang ditolak membuat Simin memilih meninggalkan Nader dan Termeh. Nader kemudian mempekerjakan Razieh, seorang wanita muslim yang taat, untuk mengurus rumah dan ayahnya. Razieh (Sareh Bayat) sendiri hadir dengan konflik pribadinya. Ia berkutat antara jarak rumahnya yang jauh, kondisinya yang tengah hamil, kerepotan mengurus rumah Nader dan ayahnya yang tua, serta aturan agama yang membatasi ruang gerak perempuan. Namun semua kondisi tersebut terpaksa ditanggung demi uang untuk membantu suaminya.

Hodjat dan Razieh yang membawa konflik baru dalam kehidupan Simin dan Nader.

Membicarakan A Separation tanpa membocorkan plot adalah hal yang cukup sulit.  Farhadi membangun plot begitu padat, tanpa adegan percuma yang sekedar pengisi. Semuanya saling melengkapi sebagai kesatuan yang utuh. Adegan demi adegan, konflik demi konflik saling membangun menghasilkan ekskalasi situasi yang luar biasa cepat. Seminggu setelah perpisahannya dengan Simin, Nader telah berstatus tersangka pembunuhan atas janin di perut Razieh. Kehidupan Razieh sendiri makin kompleks dengan histeria suaminya, Hodjat yang mudah naik darah dan berperilaku senang menyakiti diri sendiri. Empat karakter utama, serta karakter-karakter yang muncul di pinggiran juga tidak dibangun secara instan, dalam durasi yang tidak terlalu panjang, kompleksitas karakter tetap terbangun. Kita mengenal Simin, Nader, Razieh, Hodjat, Termeh, dan sosok lainnya dengan cepat dan baik.

Sulit untuk memahami A Separation dalam sekali pemikiran. Dilihat secara besar, film ini menangkap ketegangan antar kelas di Iran. Bagaimana Simin-Nader dan Razieh-Hodjat mewakili dua kelas berbeda, yang memiliki konflik. Secara individu, kita juga melihat bagaimana keempat persona ini adalah manusia dengan segala kekurangan mereka, karakter yang tidak mungkin kita hujat karena kita dapat merasakan korelasi dengan kehidupan mereka. Tiap karakter membawa keributan dalam kehidupan karakter lainnya. Kekeraskepalaan, harga diri, ketakutan, dan kecemasan, membuat kita tak bisa memojokkan seseorang saja sebagai antagonis yang patut dibenci. Setiap karakter bahkan melakukan kebohongan atau mementingkan diri sendiri. Namun siapa bisa menghujat mereka? Karena di satu sisi kita bisa memahami tiap keputusan yang diambil keempat tokoh utama ini. 

Sosok observan dengan sisi intelegensia yang kentara muncul dari sosok Termeh. Gadis berusia 11 tahun ini menjadi pengamat dalam pertunjukan sirkus orang dewasa. Sesekali ia melontarkan pertanyaan menohok hasil pengamatannya. Membuatnya menjadi sosok terpintar dalam film ini. Lewat matanya yang awas ia mencoba mencari rasionalitas dari tiap hal yang dilihat dan didengarnya.

Menyimpulkan film ini menghasilkan imej akan potret Iran yang coba digambarkan oleh Asghar Farhadi. Menariknya lebih jauh, film ini menampilkan Iran dalam sisi sosial, ekonomi, budaya, dan agama. Serta bagaimana perbedaan gender begitu vital di negara ini. Namun Asghar juga seakan membisikan kita untuk melihat A Separation dalam lingkup yang lebih sempit, yakni saat ia berbicara mengenai hubungan antar manusia dengan segala konfliknya, yang tak mampu kita hujat karena memang begitulah terkadang cara kita hidup di dunia kita.