Tuesday, May 27, 2014

X-Men: Days of Future Past (2014): Mega Superhero with Nothing New

This movie is perfectly fit to be called as Mega-Superheroes movie. Tak cukup menampilkan dua protagonist dari film pertamanya X-Men: First Class, James McAvoy dan Michael Fassbender, sekuel ini juga mengundang dua aktor kawakan dari trilogi X-Men yang lalu, Patrick Stewart dan Ian McKellen. Menggunakan formula klasik time-traveler, sutradara Bryan Singer menyatukan dua tim superhero beda generasi dalam film ini.



Alur cerita time-traveler tak memberikan banyak kejutan dalam plot. Tahun 2014 merupakan masa yang kelam bagi para mutan. Mereka diburu oleh mutant-ish robot bernama Sentinel, yang diciptakan oleh Bolivar Trask (Peter Dinklage) pada tahun 70’an. Sentinel merupakan mesin pemburu yang dapat mendeteksi DNA para mutan dan beradaptasi dengan kekuatan mutan yang mereka hadapi. Sosok Sentinel layaknya malaikat pencabut nyawa. Berkesan horror, dengan alat transportasi berbentuk peti mati, sosok tinggi besar, dingin, dan gerakan ala robotic. Very un-human.

Berlomba dengan Sentinel yang terus mengejar, tim mutant yang dipimpin oleh Xavier tua (Patrick Stewart) dan his on-off-friend Magneto (Ian McKellen) mengirim Logan (Hugh Jackman) ke masa lalu untuk mengubah sejarah. Logan harus menghentikan Mystique alias Raven (Jennifer Lawrence) membunuh Trask, peristiwa kunci dimulainya program Sentinel. Tak hanya itu, untuk mencegah Mystique, Logan harus menemukan Xavier muda (McAvoy) dan Eric muda (Fassbender) terlebih dahulu. Tugas Logan semakin sulit karena pada masa itu Xavier dalam kondisi depresi berat dan ketergantungan obat. Sementara Eric dikurung di Pentagon akibat keterlibatannya dalam pembunuhan JFK (nice touch, Simon Kinberg et all).

Meskipun penuh berhiaskan karakter-karakter mutant dari trilogi sebelumnya, Storm, Kitty, old-Beast, Iceman, dan beberapa mutant lainnya (I don’t want to spoiled the readers), kehadiran mereka tak lantas jadi kejutan yang berbeda. Storm (Halle Berry) hanya memiliki sekitar dua baris dialog lantas terlempar keluar layar. Ellen Page berperan besar bagi cerita tapi minim energi. Sosok Quicksilver/Peter Maximoff (Evan Peters) menyumbangkan energi positif dengan penampilannya. Semuanya mendapat porsi seimbang sebagai pendukung cerita.



Sedangkan McAvoy dan Fassbender terlihat lebih berusaha mengeluarkan kedalaman karakter dibandingkan film pertama mereka. McAvoy berhasil menjelma sebagai pria depresi yang kehilangan segalanya sementara Fassbender penuh ambis dan super keren dengan kostum serta semua pakaian yang dikenakannya (DUH!). Jackman? Ini penampilan ketujuhnya sebagai Wolverine, jelas ia sudah sangat menjiwai. Duet Stewart dan McKellen, tak terlalu berperan besar tapi memuaskan dahaga fans film sebelumnya. Dinklage membawakan karakter Trask dengan mengesankan. Ia tampil dengan begitu innocence, namun sosok dan suara tenangnya memberikan aura mengancam khas main-villain. Dan Lawrence yang benar-benar mencuri perhatian lewat aktingnya. Mengenakan full body make-up sebagai Mystique, emosi, dendam dan kesedihan ia salurkan melalui sorotan matanya. She really steals the entire spotlight!

I’m not fan of Singer last directorial effort, Jack the Giant Slayer (2013). But this movie is much-much-much better than that. The special effect gives the movie a really good fun. The most remarkable scene is the show-stopping set-piece with the faster-than-bullets Quicksilver. He makes the scene like a ballet-bullets show with a good back song. REALLY NICE.

Meskipun hadir dengan plot yang mudah ditebak, dan minim kejutan X-Men: Days of Future Past contoh film bertabur superhero yang digarap dengan matang sehingga memuaskan para penonton. Jenis film yang didambakan semua studio besar, karena selain berhasil mendapatkan review (lumayan) positif, juga meraup keuntungan besar yang membuat Singer akan segera menyusun film ketiga, X-Men: Apocalypse.

Wednesday, May 14, 2014

The Amazing Spider-Man 2 (2014): It's a Sweet Rom-Com

Hello, hello! Hi fellow moviegoers, it has been a long time since my last post (last year, huh?). I’m sorry about the hiatus, but lot of stuff happen in my life and I need some time to make things in order again.

And now back to business. The last movie I’ve watch is The Amazing Spiderman: Rise of Electro or better known as The Amazing Spider-Man 2.



Kesuksesan film pertamanya, The Amazing Spider-Man (2012) membuat sekuel yang kembali dikomando Marc Webb ini begitu di nanti. Belum lagi spoiler akan kemunculan karakter antagonis Green Goblin, Electro dan Rhino membuat para penggemar komik Marvel begitu antusias dan membuat sekuel ini sebagai salah satu film paling ditunggu di 2014.

And the result was? An overplotting and messy superhero movie. Alex Kutrzman dan Roberto Orci sebagai penulis gagal meramu scenario yang tersusun rapi. Subplot-subplot saling tumpang tindih dan terlalu memaksa sehingga karakter terasa tidak matang. Sepertinya Marc Webb terlalu tergesa-gesa memperkenalkan semua musuh legendaris Spiderman demi menyiapkan kemunculan Sinister Six di film ketiga nanti. Karakter musuh dalam film kali ini sama konyolnya dengan The Lizard (he wants to turned everyone in NYC into lizard? Like seriously?!) Dan love-turn-to-hate yang dialami oleh Electro kepada Spiderman (James Foxx) terasa palsu. He mad at Spiderman because he found him as selfish bastard, duh.

Sementara itu Dane DeHaan sebagai Harry Osborn aka Green Goblin muncul mencuri perhatian dengan penampilan flamboyan nan sophisticated, like he was born to play as villain. Namun obsesinya akan darah Spiderman as weird as The Lizard stuff. It was boring. It’s felt like Webb just thrown every villain in Spiderman’s comic book.  Subplot lain yang terbuang sia-sia adalah rahasia ayah Peter kenapa ia meninggalkan anak tunggalnya. Peter figured out about the secret subway station, and then so what? Nothing happens. Except may be Webb try to save it for the last movie.


So sweeeeeeeet.

Kehancuran film ini terselamatkan oleh kekuatan cinta (yes, it’s true) antara Andrew Garfield dan Emma Stone. Berperan sebagai sepasang kekasih di depan layar, Peter Parker dan Gwen Stacy, chemistry antara off-screen lover ini begitu kuat. Disini Webb menunjukan kualitas penyutradaraan seperti dalam (500) Days of Summer yang membuat namanya melejit. Akting Stone membuktikan dirinya sebagai salah satu Hollywood it-girl. She was stunning and brilliantly beautiful. Seeing Gwen and Peter makes you blushing, heartbroken and cheers when they back together. Then I wish they were in rom-com movie without web-slinging superhero. Yeah, make it happen, Hollywood, they deserve The Notebook-kind movie!!