Saya sudah tidak bisa mengingat kapan
terakhir saya menyaksikan film Indonesia di bioskop. Alasannya? Sejujurnya saya
seringkali merasa rugi menyaksikan film Indonesia di bioskop kalau dalam
beberapa bulan kemudian saya bisa dengan mudah dan murah menyaksikannya di tv.
Namun kali ini berbeda, selain karena tugas kantor, saya juga tertarik
menyaksikan film yang sudah berkelana ke beberapa festival film internasional,
plus, Joko Anwar sang sutradara sendiri menjamin film ini tidak akan muncul di televisi.
Jadilah saya menonton A Copy of My Mind.
Saat press conference pemutaran perdana film ini, seseorang pemain
dalam film teresebut berkomentar bahwa film ini adalah film
Joko yang paling jujur. Sebagai seseorang yang tak terlalu mengetahui semua karya Joko, saya tidak dapat berkomentar banyak akan pendapat tersebut. Satu hal yang belas, adalah bahwa dalam A Copy of My Mind, Joko berusaha keras memasukan semua unsur
Jakarta dan Indonesia yang dikenalnya, ke dalam film. Penonton diharapkan bisa merasakan
Indonesia, dan mengecap Jakarta yang dikenalnya. Sehingga seharusnya penonton
bisa merasakan kedekatan dengan karakter dan kisah yang dibangun dalam film.
Saya merasakan kedekatan itu. Hanya saja bukan karena setting atau konflik, yang membuat perasaan familiar itu muncul. Saya merasa dekat dengan film ini verkat kesederhanaan kedua karakter utama yang diperankan oleh Chicco Jerikho dan Tara Basro. Sederhana dan cenderung dangkal, baik Chicco dan Tara memikat saya lewat karakter yang mereka mainkan. Interaksi keduanya begitu meyakinkan. Saling melontarkan kalimat menggoda. Kadang tak lengkap dan terkesan bodoh, namun saya merasa akrab dengan Sari dan Alek. Layaknya teman atau tetangga yang sering kita dengarkan celotehannya.
A Copy of My Mind bercerita tentang
hubungan sepasang manusia, Sari dan Alek, yang berasal dari kalangan bawah di
Jakarta. Terhimpit diantara rutinitas membosankan di tengah carut marut ibu kota. Asing namun begitu dekat dengan
berbagai konflik yang bisa jadi beririsan dengan nasib mereka. Joko berusaha menghadirkan
potret romantis dalam jagat yang besar. Politik dan Indonesia. Joko menyisipkan
kehebohan pemilu 2014. Kasus korupsi dan mafia suap, dua kata yang telah biasa
ditelan oleh para penonton. Namun dalam film ini jagat besar itu rupanya tak terlalu berpengaruh dalam kehidupan yang begitu kecil.
Disini saya melihat upaya Joko menciptakan kedua tokoh protagonisnya sejujur dan sesederhana mungkin. Sebagaimana yang mungkin ia tangkap dari kebanyakan manusia Indonesia. Sari dan Alek yang kemudian terjebak dalam masalah besar. Lebih besar dari kehidupan mereka. Namun hal tersebut rupanya tak membawa begitu banyak perbedaan. Sebagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya, terkadang konflik besar tersebut tak ubahnya menjadi colekan kecil dalam alur hidup mereka. Sedikit mengubah ritme. Membuat cemas namun tak lama itu akan menjadi memori. Sementara kita kembali ke rutinitas kehidupan kita sebagaimana mestinya. Seakan tak ada yang terjadi.
Pada akhirnya saya merasa harus setuju dengan pendapat di awal tulisan ini, bahwa A Copy of My Mind merupakan sebuah film yang jujur. Setidaknya kejujuran searing sutradara dalam menghadirkan kisah mengenai Jakarta dan manusia Indonesia-khususnya-Jakarta versinya. Ditambah dengan kesederhanaan yang memikat dari kedua karakter ciptaannya adalah dua poin unggul bagi seorang Joko Anwar.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete