Wednesday, March 2, 2016

Spotlight (2015): Exposing The Truth

Salah satu kejutan dalam perhelatan Oscar 2016 adalah ketika Piala Oscar untuk kategori Best Picture jatuh pada film Spotlight. Bukan karena film ini jauh dari standar ‘best’ hanya saja, well, the odds are with The Revenant and most people think it will win. Sementara Spotlight memiliki suara yang lebih senyap, sehingga less favorite as Best Picture. Namun rupanya Morgan Freeman sebagai pembaca nominasi, malam itu mengumumkan Spotlight sebagai film terbaik versi Academy Awards.



Sebagai seseorang yang sudah menyaksikan Spotlight. Film arahan sutradara Tom McCarthy ini secara instan memerangkap saya dalam jagat yang diciptakan oleh sang sutradara dan penulis skrip. Jagat yang merupakan realita, karena film ini merupakan drama historis berdasarkan peristiwa nyata tentang sekelompok jurnalis investigasi untuk harian The Boston Globe. Kerja keras dan persistensi mereka pada akhirnya mengungkap salah satu memori terburuk dalam sebuah organisasi tertua dan (mungkin) terkuat di Amerika, bahkan dunia, gereja Katolik.

Pada 2002, tim Spotlight dari harian Boston Globe mengungkapkan skandal besar yang selama ini disembunyikan oleh pimpinan gereja di Kota Boston. Bahwa ada begitu banyak pastur menjadi predator seksual bagi anak-anak. Sementara pimpinan gereja tertinggi di kota tersebut menutup mata dan menutupi tindakan bejat para pemuka agama ini, yang pada akhirnya menimbulkan korban yang semakin banyak.

Adalah editor baru Marty Baron (Liev Schreiber) yang menugaskan tim Spotlight untuk mengungkap fakta dibalik tuntutan kepada seorang pastur. Di bawah komando editor Walter Robinson (Michael Keaton), Spotlight yang beranggotakan Sacha Pfeiffer (Rachel McAdams), Michael Rezendes (Mark Ruffalo), dan Matt Caroll (Brian d’Arcy James) kemidian berkejaran dengan waktu (sera koran lainnya) untuk mencari sumber, mengungkap fakta, dan mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya terkait kasus ini.



Salah satu kritikus film yang saya sukai tulisannya, berkomentar bahwa film ini jauh lebih layak dari The Revenant untuk memenangkan Best Picture. Karena film ini jauh lebih penting. Film ini bercerita tentang isu sosial. Mengungkapkan suara yang telah lama diabaikan.  Bahkan hingga sekarang, kasus pelecehan ini masih ditutupi oleh pimpinan tertinggi, Vatikan. Sang kardinal yang dulu terlibat dalam kasus di Boston, sebagai pihak yang mengetahui kejahatan para pastur, malah ditunjuk menjadi seorang penanggung jawab gereja besar di Vatikan hingga ke masa pensiunnya.

Film ini juga penting karena menunjukan eksistensi jurnalisme (mendekati) ideal. Ketika kepentingan publik adalah nomor satu. Bukan sekedar menemukan individu pelaku tapi menunjukan kesalahan pada sistem. Memberikan informasi bagi masyarakat akan borok yang telah terlalu ditutupi dan harus segera dibenahi.

Sebagai seorang yang belajar sedikit mengenai jurnalisme, saya menikmati Spotlight. Terlihat bahwa adegan demi adegan dibangun begitu hati-hati. Tak ingin ada yag percuma atau terlihat berlebihan. Karena sama dengan semangat tim Spotlight, film ini memiliki intensi untuk mengungkapkan kebenaran. Rentetan adegan dan proses pencarian fakta yang dipaparkan menjadi sumber ketegangan yang sedikit mengingatkan saya pada film Roman Polanski, The Ghost Writer. Thriller tanpa ketiadaan aksi kekerasan yang nyata atau ancaman yang kentara.  

Ketiadaan posisi karakter yang kuat adalah satu-satunya kekurangan yang bisa saya temukan. Semua jurnalis yang terlibat, kecuali editor Marty Baron, memiliki latar dekat dengan institusi gereja Katolik. Mereka dibesarkan secara Katolik di Boston dan tahu betul bagaimana berpengaruhnya gereja bagi kehidupan masyarakat setempat. Akan tetapi sangat sedikit sekali terlihat keberadaan konflik pribadi dengan pekerjaan yang tengah mereka lakukan. Apakah mereka bisa dengan segitu mudahnya melepaskan atribut mereka dan berburu kebenaran? Sehingga film ini menjadi lebih fokus pada step by step perburuan berita yang seru dan seksi, ketimbang proses pergulatan batin.


Layak atau tidaknya Spotlight sebagai film terbaik mengalahkan Room yang lebih memainkan emosi, atau Bridge of Spies yang tak kalah menegangkannya dan karya tangan dingin Steven Spielberg, atau The Revenant yang akhirnya membawa Leo pada piala Oscar pertamanya, mungkin masih bisa diperdebatkan. Namun film ini bagi saya ini adalah tentang proses. Bukan menempatkan siapa sebagai pahlawan atau penjahat. Layaknya tugas seorang jurnalis, film ini tentang memaparkan fakta, memberikan pengetahuan mengenai sebuah isu, dan berharap yang terbaik bagi penontonnya. 

Sunday, February 28, 2016

A Copy of My Mind (2015): Modesty Wins It All

Saya sudah tidak bisa mengingat kapan terakhir saya menyaksikan film Indonesia di bioskop. Alasannya? Sejujurnya saya seringkali merasa rugi menyaksikan film Indonesia di bioskop kalau dalam beberapa bulan kemudian saya bisa dengan mudah dan murah menyaksikannya di tv. Namun kali ini berbeda, selain karena tugas kantor, saya juga tertarik menyaksikan film yang sudah berkelana ke beberapa festival film internasional, plus, Joko Anwar sang sutradara sendiri menjamin film ini tidak akan muncul di televisi. Jadilah saya menonton A Copy of My Mind.



Saat press conference pemutaran perdana film ini, seseorang pemain dalam film teresebut berkomentar bahwa film ini adalah film Joko yang paling jujur. Sebagai seseorang yang tak terlalu mengetahui semua karya Joko, saya tidak dapat  berkomentar banyak akan pendapat tersebut. Satu hal yang belas, adalah bahwa dalam A Copy of My Mind, Joko berusaha keras memasukan semua unsur Jakarta dan Indonesia yang dikenalnya, ke dalam film. Penonton diharapkan bisa merasakan Indonesia, dan mengecap Jakarta yang dikenalnya. Sehingga seharusnya penonton bisa merasakan kedekatan dengan karakter dan kisah yang dibangun dalam film.

Saya merasakan kedekatan itu. Hanya saja bukan karena setting atau konflik, yang membuat perasaan familiar itu muncul. Saya merasa dekat dengan film ini verkat kesederhanaan kedua karakter utama yang diperankan oleh Chicco Jerikho dan Tara Basro. Sederhana dan cenderung dangkal, baik Chicco dan Tara memikat saya lewat karakter yang mereka mainkan. Interaksi keduanya begitu meyakinkan. Saling melontarkan kalimat menggoda. Kadang tak lengkap dan terkesan bodoh, namun saya merasa akrab dengan Sari dan Alek. Layaknya teman atau tetangga yang sering kita dengarkan celotehannya.

A Copy of My Mind bercerita tentang hubungan sepasang manusia, Sari dan Alek, yang berasal dari kalangan bawah di Jakarta. Terhimpit diantara rutinitas  membosankan di tengah carut marut ibu kota. Asing namun begitu dekat dengan berbagai konflik yang bisa jadi beririsan dengan nasib mereka. Joko berusaha menghadirkan potret romantis dalam jagat yang besar. Politik dan Indonesia. Joko menyisipkan kehebohan pemilu 2014. Kasus korupsi dan mafia suap, dua kata yang telah biasa ditelan oleh para penonton. Namun dalam film ini jagat besar itu rupanya tak terlalu berpengaruh dalam kehidupan yang begitu kecil. 


Disini saya melihat upaya Joko menciptakan kedua tokoh protagonisnya sejujur dan sesederhana mungkin. Sebagaimana yang mungkin ia tangkap dari kebanyakan manusia Indonesia. Sari dan Alek yang kemudian terjebak dalam masalah besar. Lebih besar dari kehidupan mereka. Namun hal tersebut rupanya tak membawa begitu banyak perbedaan. Sebagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya, terkadang konflik besar tersebut tak ubahnya menjadi colekan kecil dalam alur hidup mereka. Sedikit mengubah ritme. Membuat cemas namun tak lama itu akan menjadi memori. Sementara kita kembali ke rutinitas kehidupan kita sebagaimana mestinya. Seakan tak ada yang terjadi. 

Pada akhirnya saya merasa harus setuju dengan pendapat di awal tulisan ini, bahwa A Copy of My Mind merupakan sebuah film yang jujur. Setidaknya kejujuran searing sutradara dalam menghadirkan kisah mengenai Jakarta dan manusia Indonesia-khususnya-Jakarta versinya. Ditambah dengan kesederhanaan yang memikat dari kedua karakter ciptaannya adalah dua poin unggul bagi seorang Joko Anwar.