Sunday, March 17, 2013

The So-Last-Year-Movie-Review of Django Unchained (2012)

Actually I had wait for this movie since the beginning of December 2012. Why? Because, since I watched 'Inglorious Basterds' (2009), I've been in LOVE with Quentin Tarantino and  especially Christoph Waltz.



Sayangnya, saya baru berkesempatan menonton film ini di bulan Januari, jauh meleset dari jadwal premier film ini yang adalah Hari Natal 2012 lalu. Sebelum saya menonton film ini, saya sudah mendengar kabar bahwa film ini masuk ke dalam jajaran nominasi Best Picture untuk Oscar, lantas ekspektasi saya semakin tinggi untuk film spaghetti-western ini. Lalu bagaimana tanggapan saya setelah menonton? 

Well, lil bit dissapointed actually. 
'Django Unchained' menampilkan semua ekspektasi saya akan film Quentin Tarantino. Darah, sadistic, explosive violence, dan humor-humor cult khas Tarantino.  

Saya pernah membaca sebuah review yang menyatakan bahwa seharusnya 'Django Unchained' tidak perlu masuk ke dalam nominasi Oscar, karena dia adalah B-movie. Dan rasa-rasanya saya harus setuju. Tapi setidaknya kita semua perlu sadar bahwa selain Tarantino, tidak ada seorang sutradara pun yang sanggup membuat kritikus film tertarik menononton dan membicarakan B-movie. Tarantino dengan cerdasnya mampu menggarap material-material 'murahan' dan cliche (tulisan 'Django Unchained' dalam ending film yang berwarna merah, such a western-cliche material) sehingga menjadi tontonan seru yang mendapat sambutan hangat dimana-mana. 

'Django', dinilai sebagai salah satu film paling rasis yang pernah ada. Kata-kata 'nigger' diucapkan puluhan hingga ratusan kali dalam film ini. Satu hal yang perlu diketahui dari sejarah AS, bahwa kata 'nigger' bermakna konotatif dan merendahkan kaum kulit hitam. Adalah taboo untuk mengucapkannya di depan umum, apalagi dalam sebuah film yang diproduksi massal. Namun ada hidden agenda dalam film 'rasis' ini adalah Tarantino mencoba menjadikan kata 'nigger' sebagai suatu yang tak lagi bermaksud merendahkan kaum kulit hitam. Because not only white people who says 'nigger', the black people say it too in the movie. Tarantino wants to restore 'nigger' by used it commonly in 'Django'. 

Hanya di tangan Tarantino, B-movie memiliki makna-makna tersembunyi. Salah satu yang dapat ditangkap dalam 'Django' adalah sindiran Tarantino pada Amerika. Selama ini kita tahu bahwa bangsa Amerika selalu merasa bangga dengan superioritas dan kehebatan mereka. Tapi di film ini kita melihat bagaimana sosok European-Jerman Dr King Schultz jauh lebih ber-manner dan fasih dalam berbicara dibandingkan para Americans. Dr Schultz talks fancy and makes the audience wonder how could this good and mannered guy become such a cold-hearted bounty hunter, who will do everything for money. 



Berbicara tentang Dr Schultz, saya harus akui sosok Christoph Waltz lagi-lagi mencuri perhatian dalam film ini. Meskipun dalam keseluruhan film ia tetap memberikan Django (Jamie Foxx) porsi yang layak, namun Waltz tetap menjadi MVP dalam 'Django'. Hal ini pun diakui dalam Oscar setelah aktor asal Austria ini mendapatkan piala Oscar keduanya untuk Best Supporting Actor. Sosok lain yang patut diapresiasi ialah  Leo DiCaprio. Ini kali pertamanya, memainkan sosok antagonis dalam sebuah film. Leo dengan cerdasnya memainkan sosok crazy-cold-hearted Calvin Candie, dan membuat saya 'ngeri saat ia marah. 

Akhirnya saya harus mengakui bahwa 'Django' memang bukan sekedar B-movie yang penuh dengan darah dan pembantaian. Saya harus akui pula Tarantino tetap menjadi salah satu sutradara paling diperhitungkan di Hollywood dengan film-filmnya yang otentik (walaupun beberapa kritikus mengatakan bosan dengan tipe film Tarantino). Tapi kalau harus saya bandingkan dengan film Tarantino lainnya, saya rasa ini bukan film terbaiknya. 'Inglorious Basterds' jauh lebih inspiring dibandingkan 'Django'. Bahkan jauh lebih memuaskan hati (untuk para Yahudi setidaknya) karena memberikan kesempatan yang tertunda bagi para kaum tertindas untuk 'membalikan sejarah' dan membalas dendam...dalam film. 

No comments:

Post a Comment