Thursday, March 28, 2013

A Royal Affair (2012) : A Lavish Royal Tale and Refreshing Experience from Danish Motion Picture



It’s always a delightful experience to watch a new movie, especially a movie like 'A Royal Affair', which is a Danish movie that nominated for Best Foreign Language in Academy Awards. Directed by Nikolaj Arcel,' A Royal Affair' is a sumptuous historical drama that really refreshing to watch.




'A Royal Affair' bukan sekedar kisah skandal kerajaan – yang memang selalu menggoda untuk ditonton – tapi lebih dari itu, film ini juga memperlihatkan proses masuknya Denmark pada masa Enlightment Age. Penonton bisa menyaksikan perjalanan historis yang biasanya membosankan menjadi sebuah kisah yang penuh intrik dan menarik untuk disaksikan.

Diawali dengan proses perjodohan antara Queen Mathilde (Alicia Vikander) dengan King Christian VII (Mikkel Folsgaard). Pernikahan yang ditunggu-tunggu tersebut rupanya hanya menghasilkan ketidakpuasan bagi raja dan ratu. Queen Mathilde digambarkan sebagai sosok yang berpikiran luas dan cerdas, tapi harus menerima kenyataan bahwa sang suami adalah raja yang temperamen dan mentally ill.

Di tengah kehidupan romantisme raja dan ratu yang ‘suram’ itu munculah sosok Johann Friedrich Struensee (Mads Mikkelsen) yang kemudian berujung pada skandal terlarang. A forbidden love story between the queen and Struensee, the King’s personal doctor. Then that steamy love story leads the beginning phase of Enlightment in Denmark with the social reforms that constructed by The Queen and Struensee.

Menyaksikan 'A Royal Affair' bisa dibilangkan really refreshing. Bahkan dengan plot yang standar ala a royal tale, yang biasa menampilkan trio kisah cinta-perebutan kekuasaan-tragic ending, film ini menyenangkan untuk ditonton, karena faktor setting yang cantik dan wajah-wajah baru (setidaknya jika dibandingkan dengan sosok yang biasa wara-wiri dalam film Hollywood). Kisah yang disajikan juga merupakan kisah nyata dan merupakan skandal  besar dalam sejarah Kerajaan Denmark.



Salah satu sorotan saya adalah sosok cantik Alicia Vikander yang mengingatkan saya pada sosok Keira Kinghtley. Aktris muda Denmark ini memiliki kecantikan klasik yang cocok bermain dalam film-film bersetting abad pertengahan. I hope I will see more of Alicia Vikander in a lot of movies.

Meskipun memiliki ending tragis yang kurang greget, tapi saya merekomendasikan film ini untuk ditonton oleh para pecinta film sebagai selingan yang menyegarkan diantara  film Hollywood.  Selain pelajaran sejarah yang apik, love scene between Struensee dan Queen Mathilde is a worth-to-wait-for :)

Sunday, March 17, 2013

The So-Last-Year-Movie-Review of Django Unchained (2012)

Actually I had wait for this movie since the beginning of December 2012. Why? Because, since I watched 'Inglorious Basterds' (2009), I've been in LOVE with Quentin Tarantino and  especially Christoph Waltz.



Sayangnya, saya baru berkesempatan menonton film ini di bulan Januari, jauh meleset dari jadwal premier film ini yang adalah Hari Natal 2012 lalu. Sebelum saya menonton film ini, saya sudah mendengar kabar bahwa film ini masuk ke dalam jajaran nominasi Best Picture untuk Oscar, lantas ekspektasi saya semakin tinggi untuk film spaghetti-western ini. Lalu bagaimana tanggapan saya setelah menonton? 

Well, lil bit dissapointed actually. 
'Django Unchained' menampilkan semua ekspektasi saya akan film Quentin Tarantino. Darah, sadistic, explosive violence, dan humor-humor cult khas Tarantino.  

Saya pernah membaca sebuah review yang menyatakan bahwa seharusnya 'Django Unchained' tidak perlu masuk ke dalam nominasi Oscar, karena dia adalah B-movie. Dan rasa-rasanya saya harus setuju. Tapi setidaknya kita semua perlu sadar bahwa selain Tarantino, tidak ada seorang sutradara pun yang sanggup membuat kritikus film tertarik menononton dan membicarakan B-movie. Tarantino dengan cerdasnya mampu menggarap material-material 'murahan' dan cliche (tulisan 'Django Unchained' dalam ending film yang berwarna merah, such a western-cliche material) sehingga menjadi tontonan seru yang mendapat sambutan hangat dimana-mana. 

'Django', dinilai sebagai salah satu film paling rasis yang pernah ada. Kata-kata 'nigger' diucapkan puluhan hingga ratusan kali dalam film ini. Satu hal yang perlu diketahui dari sejarah AS, bahwa kata 'nigger' bermakna konotatif dan merendahkan kaum kulit hitam. Adalah taboo untuk mengucapkannya di depan umum, apalagi dalam sebuah film yang diproduksi massal. Namun ada hidden agenda dalam film 'rasis' ini adalah Tarantino mencoba menjadikan kata 'nigger' sebagai suatu yang tak lagi bermaksud merendahkan kaum kulit hitam. Because not only white people who says 'nigger', the black people say it too in the movie. Tarantino wants to restore 'nigger' by used it commonly in 'Django'. 

Hanya di tangan Tarantino, B-movie memiliki makna-makna tersembunyi. Salah satu yang dapat ditangkap dalam 'Django' adalah sindiran Tarantino pada Amerika. Selama ini kita tahu bahwa bangsa Amerika selalu merasa bangga dengan superioritas dan kehebatan mereka. Tapi di film ini kita melihat bagaimana sosok European-Jerman Dr King Schultz jauh lebih ber-manner dan fasih dalam berbicara dibandingkan para Americans. Dr Schultz talks fancy and makes the audience wonder how could this good and mannered guy become such a cold-hearted bounty hunter, who will do everything for money. 



Berbicara tentang Dr Schultz, saya harus akui sosok Christoph Waltz lagi-lagi mencuri perhatian dalam film ini. Meskipun dalam keseluruhan film ia tetap memberikan Django (Jamie Foxx) porsi yang layak, namun Waltz tetap menjadi MVP dalam 'Django'. Hal ini pun diakui dalam Oscar setelah aktor asal Austria ini mendapatkan piala Oscar keduanya untuk Best Supporting Actor. Sosok lain yang patut diapresiasi ialah  Leo DiCaprio. Ini kali pertamanya, memainkan sosok antagonis dalam sebuah film. Leo dengan cerdasnya memainkan sosok crazy-cold-hearted Calvin Candie, dan membuat saya 'ngeri saat ia marah. 

Akhirnya saya harus mengakui bahwa 'Django' memang bukan sekedar B-movie yang penuh dengan darah dan pembantaian. Saya harus akui pula Tarantino tetap menjadi salah satu sutradara paling diperhitungkan di Hollywood dengan film-filmnya yang otentik (walaupun beberapa kritikus mengatakan bosan dengan tipe film Tarantino). Tapi kalau harus saya bandingkan dengan film Tarantino lainnya, saya rasa ini bukan film terbaiknya. 'Inglorious Basterds' jauh lebih inspiring dibandingkan 'Django'. Bahkan jauh lebih memuaskan hati (untuk para Yahudi setidaknya) karena memberikan kesempatan yang tertunda bagi para kaum tertindas untuk 'membalikan sejarah' dan membalas dendam...dalam film. 

Friday, March 15, 2013

The Prestige: Are You Watching Closely? (2006)


Actually, kind of embarrassing for me to admit that I never watch this movie until 2013. Well, I heard about this movie before, but I never know that this movie is AMAZING. And this movie makes me worship Christopher Nolan as a director.



A rivalry and obsession. Itulah dua tema penting dalam film ini yang mengobrak-abrik emosi penonton sepanjang film dan membuat penonton menebak-nebak maksud  dan trick yang ada dalam film ini.

Mengambil setting di London abad ke-19 dan dunia magic sebagai tema, The Prestige sebenarnya diangkat dari epistolary novel (I will talk about this later) karya Christian Priest. Pada menit-menit pertama, penonton akan langsung disuguhi teka-teki dan ketegangan yang berawal dari tewasnya seorang magician ketika tengah melakukan tricknya, sementara rivalnya yang berada di lokasi kejadian menjadi tersangka dan diancam hukuman mati.

Satu hal unik dalam film ini ialah jika biasanya film menggunakan struktur narasi standar, yaitu maju-mundur, alias bolak-balik ke masa lalu dan masa sekarang, menurut saya film ini malah memiliki alur maju-mundur dan lebih mundur lagi. Ada narasi yang bertumpuk dalam ceritanya (and it does remind me with another Nolan’s work, Inception).

Adalah Robert Angier (Hugh Jackman) dan Albert Brendon (Christian Bale) dua orang asisten rendahan dalam pertunjukan sulap yang karena sebuah kecelakaan menjadi rival abadi yang saling terobsesi satu sama lain. Bagi saya, kedua karakter ini menunjukan hal yang menarik. Mereka menunjukan keindahan dunia sulap, sekaligus misteri yang menakutkan dibaliknya. Bahwa di belakang panggung, kehidupan ternyata tidak segemerlap dan seindah apa yang dilihat penonton ketika tirai dibuka.

Baik Angier dan Brendon bukanlah sosok putih atau hitam. Dalam film ini sulit untuk menentukan siapa protagonis dan siapa yang antagonis. Semuanya abu-abu. Semuanya berbuat salah. Mungkin itulah yang paling tepat menggambarkan manusia dan dunia ini, karena toh tidak ada yang benar-benar hitam dan putih. Hanya orang naïf yang merasa bahwa dunia itu hanya terbagi atas dua warna, dan melupakan ‘abu-abu’ sebagai daerah yang paling banyak didiami oleh manusia di dunia ini.

Menurut saya, sebuah film yang bagus adalah film yang akan tetap terkenang meskipun kita sudah sekian lama menontonnya. Bagi saya The Prestige memberikan kesan itu. Tak perlu aksi dan peralatan canggih ala Batman atau wajah tampan ala Leonardo DiCaprio (another Nolan’s works) untuk membuat film menjadi sangat memorable. Cukup buat saja penonton bertanya-tanya, menganalisis dan menebak-nebak di sepanjang film. Sehingga pada akhirnya penonton akan merasakan kepuasan ketika tebakannya akan ending film atau penjelasan dari jalan cerita film ini ternyata tepat. And my guess was right! 

Welcome To My SilverScreen

HI!

Welcome to my silver screen..

My nickname is Kiky. As long as I remember, I always feels excited whenever I see a movie. I'm not a movie expert, but I do like watching and write about movies. So, this blog is my place to fulfill my passion about motion picture. 

Basically, this blog will be full with my movie reviews or simply movie thingy (of course it doesn't including celebrity gossip). Summer movie, blockbuster movie, rom-com, action, european and since I come from Indonesia, I might be also reviewing Indonesian movie or another Asian movie.  

I have to admit that I don't really good at writing in English, so may be this blog will be 80% written in my mother language, which is Indonesian. But I hope over the time I will improve my English and do more posting with this international language, so I could gain more reader from other country. 

And I can't promise you that I will always keep posting regularly, because sometime I do feel too tired, too busy with my college life or just too lazy to write about movie that I have watched. 

So lets my passion play begin.. 

PS: if you are interested to know me better, just visit my social media account: instagram - facebook - twitter - pinterest - tumblr 

cheers,
Kiky