Monday, August 26, 2013

What Maisie Knew (2012) : Yes, What She Knew Exactly?

Karakter anak-anak dalam film biasanya mudah ditebak. Seperti buku yang terbuka, mereka mudah dibaca. Tapi tidak dengan sosok dalam film What Maisie Knew. Saya terus bertanya-tanya tentang gadis kecil ini sepanjang film.

(photo taken from here)

Diangkat dari novel berjudul sama karya Henry James, What Maisie Knew sebenarnya adalah film yang ditujukan pada khalayak dewasa (atau remaja) tapi mengambil sudut pandang anak kecil. Uniknya novel yang menjadi inspirasi film ini terbit lebih dari 100 tahun lalu di Inggris, pada era dimana perceraian adalah hal yang masih kontroversial. Sedangkan sutradara David Siegel dan Scott McGehee membawanya ke setting modern di Kota New York.

Sejak awal film, kita akan tahu bahwa Maisie (Onata Aprile) dicintai oleh orangtuanya, sebaliknya Maisie juga mencintai keduanya. Tetapi Susanna (Julianne Moore) dan Beale (Steve Coogan), orang tua Maisie, memiliki hubungan yang buruk. Keduanya tidak bisa berhenti bertengkar, dan bahkan tak segan mengumpat di depan anak mereka. Maisie menyaksikan dan mendengarkan banyak perdebatan diantara keduanya. Ia biasanya akan mengawasi orang tuanya di sudut ruangan atau di balik jendela, atau sekedar mendengarkan suara ayah ibunya. Ketika keduanya akhirnya bercerai, Maisie harus tinggal di dua tempat, masing-masing 10 hari di tempat ibu dan ayahnya.

Susanna adalah seorang middle-age-rocker yang tengah berusaha kembali ke panggung. Diperankan Julianne Moore, Susanna adalah punya pesona yang menonjol di tiap adegannya. Dengan penuh kasih sayang ia menghujani anaknya dengan ciuman, menunjukan betapa ia menyayangi anaknya, sekaligus seakan itu bisa menebus kesalahannya pada sang anak. Sedangkan Beale berprofesi sebagai art dealer yang sibuk bukan main dan sering bepergian tanpa jadwal yang pasti. Coogan’s Beale menjalani kehidupannya dengan humoris. Ia menjanjikan berbagai hal pada Maisie sekaligus melimpahinya dengan banyak mainan bagus, tapi ia seakan canggung berada dekat dengan anaknya. Sisi humornya seperti kedok untuk menunjukan bahwa ia bingung ketika berhadapan dengan anaknya sendiri.

Karena kesibukan keduanya, mereka memilih untuk menikah lagi agar mendapat bantuan dalam mengasuh Maisie. Susanna menikahi Lincoln (Alexander Skarsgard), a STUDLY bartender. Beale menikah dengan Margo, Scottish Maise’s ex-nanny (Joanna Vanderham). Margo sudah sangat dekat dengan Maisie, sehingga rasanya ia satu-satunya orang dewasa yang benar-benar mengurus Maisie. Sementara Lincoln, sebagai orang yang baru dikenal Maisie, justru berhasil mengambil hati Maisie dengan cepat. Maisie benar-benar menyukai Lincoln. “I love him,” that’s what she said.  



Pasca perceraian, justru Maisie malah makin sering terlantar. She will be tossed back and forth to her mom and daddy. Ia terpaksa menunggu berjam-jam untuk dijemput sepulang sekolah. Atau duduk di lobby apartemen ibunya menunggu Margo dan Beale menjemputnya. Bahkan harus menunggu di bar di malam hari sembari menunggu Lincoln selesai bekerja. Melihat Maisie yang ‘unintentionally’ abandoned oleh orangtuanya membuat bertanya-tanya kenapa Maisie sama sekali tidak mengeluh, menangis atau berteriak meminta perhatian.

Walaupun sisi emosional Maisie tidak tampak, tapi jelas ia paham ketika orang lain tengah sedih. Saat ibunya berkeluh kesah padanya, Maisie akan menenangkannya. Atau ketika Margo menangis karena hubungannya dengan Beale berantakan, Maisie akan memeluknya. Seakan ia paham betul apa yang dibutuhkan oleh orang yang sedang bersedih. Hal ini membuat kita bertanya-tanya bagaimana ia bisa memahami perilaku seperti.

Setengah durasi film berlalu, saya benar-benar berharap seseorang menyelamatkan Maisie dari mimpi buruk masa kecil ini. Pada akhirnya Lincoln dan Margo, orang tua tiri Maisie-lah yang menjadi tempatnya menemukan keluarga. Lincoln dan Margo, yang sama-sama frustasi karena merasa digunakan oleh Susanna dan Beale menjadi dekat, dan keduanya juga sama-sama peduli pada Maisie. Seperti keluarga, ketiganya menghabiskan waktu bersama. Hal yang tak pernah dilakukan Maisie bersama orang tua kandungnya.



Karakter Maisie memang jadi fokus dalam film dan Onata Aprile, gadis kecil yang memerankannya tampil dengan sangat baik. Tak banyak dialog, tapi ekspresi dan gesture nya menunjukan sisi kanak-kanak yang membuat kita bersimpati padanya. Ekspresi wajahnya yang sedang sedih atau ketakutan sembari melengkungkan bibir ke bawah, membuat siapapun yang melihatnya ikut menahan tangis. Dan ketika ia sedang mengamati tingkah polah orang dewasa di sekelilingnya, mata besarnya tampak awas sekaligus tanpa emosi, membuat kita jadi bertanya-tanya apa yang ia pikirkan.

Sepanjang film selama 98 menit, kita ikut melihat apa yang Maisie lihat. Dengan menaruh kamera setinggi mata anak-anak, Siegel dan McGehee mengajak penontonnya ikut mengamati sebagaimana Maisie memperhatikan orang dewasa di sekelilingnya. Selain itu kita berkali-kali menyaksikan heartbreaking moment, ketika Maisie harus jadi korban keegoisan orangtuanya. Dari semua hal yang dilihat dan dialami Maisie, kita sama sekali tidak memiliki gambaran apa yang sebenarnya Maisie tahu tentang permasalahan di sekelilingnya, atau apakah ia memahami perceraian orangtuanya, dan yang terpenting sebenarnya bagaimanakah perasaannya. Kita bisa menduga bahwa Maisie mungkin emotionally incapable, atau sebenarnya ia adalah pengamat yang baik. Satu hal yang pasti What Maisie Knew memberi ruang bagi penonton untuk membayangkan sejauh apa pemahaman dan bagaimana perasaan Maisie. 

Friday, August 23, 2013

Elysium (2013) : I Will Not Die Here!

(photo taken from here)

Elysium is man-made paradise for the wealthiest whose left the earth, when it condition is getting worse. It’s becoming polluted, dirty and dusty.  Melayang di luar angkasa, dengan jarak tempuh 20 menit dari bumi, Elysium menjadi mimpi semua makhluk bumi yang miskin dan kotor. Disana tak ada kematian, karena keberadaan kapsul medis yang tersedia di setiap rumah, siap menyembuhkan penyakit macam apapun bagi si kaya.

Max De Costa (Matt Damon), seorang ex-narapidana yang juga punya impian untuk menuju Elysium. Max bekerja di pabrik robot, berharap suatu saat ia bisa menghasilkan cukup uang dan meninggalkan bumi. Hingga suatu  hari Max mengalami kecelakaan kerja yang membuat sisa hidupnya tinggal lima hari. Dengan sisa hidupnya yang hanya dalam hitungan hari, Max siap melakukan apapun untuk bisa ke Elysium demi menyembuhkan dirinya di kapsul medis. Dibantu oleh  Spider (Wagner Moura), seorang ketua geng mata duitan, Max dipersenjatai exoskeleton untuk memperkuat fisiknya yang lemah. Spider dan Max menyusun rencana untuk hijacking Elysian brain (yes, brain) to get the important data from that person.

Tampilnya Matt Damon sebagai Max memang tak perlu diragukan lagi. Ia terlihat tangguh tapi tetap terlihat ‘human’. With his body covered by tattoo, he still fit with the image of sensitive and funny person. He looked cold enough to shot and killed people but also felt nervous when asking girl out for a date. The most interesting part of Max character is his determination to stay alive. He said ‘I will not die here’ several times like a mantra.  I’m saluting him for his determination.

Sementara itu di Elysium, Delacourt (Jodie Foster) sebagai menteri pertahanan berusaha sekuat tenaga melindungi ‘habitat’ kaum borjuis tersebut. Dengan pakaiannya yang serba putih (terkadang abu-abu) dan  rambut white-blond, Foster terlihat saintly intimidating. We couldn't judge her, whether she is a saint who want to keep her children save or the evil who hate all the earth citizen? Max dan Delacourt tidak pernah berkonfrontasi secara langsung. Max justru harus berhadapan dengan Agen Kruger (Sharlto Copley) , bawahan Delacourt yang sadis dan maniac, yang menginginkan isi kepala Max.


(photo taken from here)

Setting film ini di tahun 2154 tampaknya membawa banyak hal menarik untuk dicerna. Pertama,, nama presiden Amerika Serikat yang menjabat bernama Presiden Patel, this is the decade when Asian American could be a POTUS! Elysium sebagai tempat dimana kaum borjuis bermukim menggunakan bahasa Perancis dan Inggris dengan aksen British dalam percakapan, sementara Max dan teman-temannya di bumi menggunakan bahasa Inggris dan Spanyol secara bergantian. Jika kondisi di bumi yang kumuh, penuh dengan puing dan banyak warga yang sakit tak terurus, kehidupan warga Elysium tidak dinarasikan mendetail dalam film, hanya cuplikan sebuah pesta untuk menampilkan betapa makmurnya warga Elysium. Padahal detail kehidupan di ‘surga’ pastinya menarik untuk diceritakan.


Neill Blomkamp yang sebelumnya berhasil memukau Academy Awards dan pasar dengan District 9, tampaknya ingin kembali menunjukan sindiran politis lewat Elysium. Namun terasa kurang maksimal,, terutama dengan kehadiran melodrama antara Max dengan his childhood (girl)friend, Frey (Alice Braga). Dialog antara Max dan Frey sesaat sebelum film berakhir, literally made me rolled my eyes. Dialog itu membuat saya kehilangan sosok Max dengan kekuatannya, ia menjadi terlalu rapuh untuk dibayangkan bertindak nekad. Too much sweetness and cliché. Rasanya Blomklamp bisa mencari adegan  lain, yang tidak melibatkan drama percintaan, untuk mengantarkan kita pada ending film. But, I love the ending!