Karakter
anak-anak dalam film biasanya mudah ditebak. Seperti buku yang terbuka, mereka
mudah dibaca. Tapi tidak dengan sosok dalam film What Maisie Knew. Saya terus bertanya-tanya tentang gadis kecil ini
sepanjang film.
(photo taken from here)
Diangkat
dari novel berjudul sama karya Henry James, What
Maisie Knew sebenarnya adalah film yang ditujukan pada khalayak dewasa
(atau remaja) tapi mengambil sudut pandang anak kecil. Uniknya novel yang
menjadi inspirasi film ini terbit lebih dari 100 tahun lalu di Inggris, pada
era dimana perceraian adalah hal yang masih kontroversial. Sedangkan sutradara
David Siegel dan Scott McGehee membawanya ke setting modern di Kota New York.
Sejak
awal film, kita akan tahu bahwa Maisie (Onata Aprile) dicintai oleh orangtuanya,
sebaliknya Maisie juga mencintai keduanya. Tetapi Susanna (Julianne Moore) dan Beale
(Steve Coogan), orang tua Maisie, memiliki hubungan yang buruk. Keduanya tidak
bisa berhenti bertengkar, dan bahkan tak segan mengumpat di depan anak mereka. Maisie
menyaksikan dan mendengarkan banyak perdebatan diantara keduanya. Ia biasanya
akan mengawasi orang tuanya di sudut ruangan atau di balik jendela, atau
sekedar mendengarkan suara ayah ibunya. Ketika keduanya akhirnya bercerai,
Maisie harus tinggal di dua tempat, masing-masing 10 hari di tempat ibu dan
ayahnya.
Susanna
adalah seorang middle-age-rocker yang
tengah berusaha kembali ke panggung. Diperankan Julianne Moore, Susanna adalah
punya pesona yang menonjol di tiap adegannya. Dengan penuh kasih sayang ia
menghujani anaknya dengan ciuman, menunjukan betapa ia menyayangi anaknya,
sekaligus seakan itu bisa menebus kesalahannya pada sang anak. Sedangkan Beale berprofesi
sebagai art dealer yang sibuk bukan
main dan sering bepergian tanpa jadwal yang pasti. Coogan’s Beale menjalani
kehidupannya dengan humoris. Ia menjanjikan berbagai hal pada Maisie sekaligus
melimpahinya dengan banyak mainan bagus, tapi ia seakan canggung berada dekat
dengan anaknya. Sisi humornya seperti kedok untuk menunjukan bahwa ia bingung ketika
berhadapan dengan anaknya sendiri.
Karena
kesibukan keduanya, mereka memilih untuk menikah lagi agar mendapat bantuan
dalam mengasuh Maisie. Susanna menikahi Lincoln (Alexander Skarsgard),
a STUDLY bartender. Beale menikah
dengan Margo, Scottish Maise’s ex-nanny
(Joanna Vanderham). Margo sudah sangat dekat dengan Maisie, sehingga rasanya ia
satu-satunya orang dewasa yang benar-benar mengurus Maisie. Sementara Lincoln,
sebagai orang yang baru dikenal Maisie, justru berhasil mengambil hati Maisie
dengan cepat. Maisie benar-benar menyukai Lincoln. “I love him,” that’s what she said.
Pasca
perceraian, justru Maisie malah makin sering terlantar. She will be tossed back and forth to her mom and daddy. Ia terpaksa
menunggu berjam-jam untuk dijemput sepulang sekolah. Atau duduk di lobby
apartemen ibunya menunggu Margo dan Beale menjemputnya. Bahkan harus menunggu
di bar di malam hari sembari menunggu Lincoln selesai bekerja. Melihat Maisie
yang ‘unintentionally’ abandoned oleh
orangtuanya membuat bertanya-tanya kenapa Maisie sama sekali tidak mengeluh,
menangis atau berteriak meminta perhatian.
Walaupun
sisi emosional Maisie tidak tampak, tapi jelas ia paham ketika orang lain
tengah sedih. Saat ibunya berkeluh kesah padanya, Maisie akan menenangkannya. Atau
ketika Margo menangis karena hubungannya dengan Beale berantakan, Maisie akan
memeluknya. Seakan ia paham betul apa yang dibutuhkan oleh orang yang sedang
bersedih. Hal ini membuat kita bertanya-tanya bagaimana ia bisa memahami
perilaku seperti.
Setengah
durasi film berlalu, saya benar-benar berharap seseorang menyelamatkan Maisie
dari mimpi buruk masa kecil ini. Pada akhirnya Lincoln dan Margo, orang tua
tiri Maisie-lah yang menjadi tempatnya menemukan keluarga. Lincoln dan Margo,
yang sama-sama frustasi karena merasa digunakan oleh Susanna dan Beale menjadi
dekat, dan keduanya juga sama-sama peduli pada Maisie. Seperti keluarga,
ketiganya menghabiskan waktu bersama. Hal yang tak pernah dilakukan Maisie
bersama orang tua kandungnya.
Karakter
Maisie memang jadi fokus dalam film dan Onata Aprile, gadis kecil yang
memerankannya tampil dengan sangat baik. Tak banyak dialog, tapi ekspresi dan gesture nya menunjukan sisi kanak-kanak
yang membuat kita bersimpati padanya. Ekspresi wajahnya yang sedang sedih atau
ketakutan sembari melengkungkan bibir ke bawah, membuat siapapun yang
melihatnya ikut menahan tangis. Dan ketika ia sedang mengamati tingkah polah
orang dewasa di sekelilingnya, mata besarnya tampak awas sekaligus tanpa emosi,
membuat kita jadi bertanya-tanya apa yang ia pikirkan.
Sepanjang
film selama 98 menit, kita ikut melihat apa yang Maisie lihat. Dengan menaruh
kamera setinggi mata anak-anak, Siegel dan McGehee mengajak penontonnya ikut mengamati
sebagaimana Maisie memperhatikan orang dewasa di sekelilingnya. Selain itu kita
berkali-kali menyaksikan heartbreaking
moment, ketika Maisie harus jadi korban keegoisan orangtuanya. Dari semua
hal yang dilihat dan dialami Maisie, kita sama sekali tidak memiliki gambaran
apa yang sebenarnya Maisie tahu tentang permasalahan di sekelilingnya, atau
apakah ia memahami perceraian orangtuanya, dan yang terpenting sebenarnya
bagaimanakah perasaannya. Kita bisa menduga bahwa Maisie mungkin emotionally incapable, atau sebenarnya
ia adalah pengamat yang baik. Satu hal yang pasti What Maisie Knew memberi ruang bagi penonton untuk membayangkan sejauh
apa pemahaman dan bagaimana perasaan Maisie.