Based on my experience, I never enjoy any Superman movies. From
Christopher Reeves till the Brandon Routh’s, I never really be a fan of
Superman. So I have to admit that I don’t feel any excitement to watch Zack Snyder’s
‘Man of Steel’. But here, I try to be
objective...
Kesan pertama saya setelah
sekitar 15 menit menyaksikan film ini adalah : it is really sci-fi. 30 menit pertama penonton menyaksikan
kekacauan di Planet Krypton tempat asal muasal Kal-El alias Superman. Di tengah
ancaman kiamat pada planetnya, General Zod, pimpinan militer di Krypton malah
melakukan pemberontakan. Kondisi kacau tersebut membuat Jor-El (Russel Crowe)
dan Lara (Ayelet Zurer) mengirim putra mereka Kal-El ke bumi, dimana nantinya
ia diharapkan bisa membentuk kembali peradaban Krypton. Kemudian film meloncati
waktu dan menunjukan kehidupan Kal-El di bumi sebagai sosok Clark Kent. Sebagai
manusia, Kent menyadari dirinya berbeda. Sehingga ia menjadi outcast yang selalu berusaha mencari
tahu kebenaran tentang dirinya dan keluarganya. Sesekali Snyder menggunakan
mosaik untuk memperlihatkan kenangan masa lalu Kent, bagaimana ia tumbuh
dibesarkan oleh Pa Kent (Kevin Costner) dan Ma Kent (Diane Lane) sebagai anak yang
spesial. ‘Man of Steel’ is a story of superhero
in the making (just like Batman
Begins). Film ini bercerita kenapa dan bagaimana Clark Kent menjadi sosok
Superman.
Di awal film penuh dengan kapal
luar angkasa, senjata from out-of-the-world,
astronaut suit, DNA mutation thingy, black hole, dan elemen lainnya yang identik
dengan film alien semacam ‘War of the Worlds’. Tapi kemudian penonton juga
disuguhkan efek tilt camera dengan sun-kissed scenes and it’s very drama-ish, which
I thought was influenced by Terrence Malick’s or movies that based on Nicholas
Sparks’s novels.
‘Man of Steel’ menampilkan aktor
asal Inggris, Henry Cavill sebagai the
newest Superman. Physically Henry
Cavill may be isn’t that handsome or charismatic
compared with Reeves, but with that ripped body just like Spartans in that Snyder’s
‘300’, I thought he will be the newest
hunk in Hollywood. Cavill rasanya cocok menjadi Clark Kent meski harus
diakui kemampuannya tidak terlalu dieksplorasi dalam film ini. Berbeda dengan
Superman ala Routh yang terjebak dilema antara nerd dan superhero,
Cavill tidak (atau belum, hint for sequel
may be) mengalami double identity
issue. Ia justru bergulat dengan dirinya mengenai ras mana yang akan ia
bela, manusia atau Kryptonians.
Sementara itu Superman’s love interest, Lois Lane
dibintangi oleh Amy Adams. Lane versi Adams adalah Lane yang membosankan.
Mungkin seharusnya ia bisa membawa sisi kuat dalam sosok damsel in distress, tapi rupanya ia tidak begitu sukses. Sama dengan
rekan-rekannya di Daily Planet terutama pimpinannya Perry White (Laurence
Fishburne) yang rasanya sia-sia ada dalam film. Sosok General Zod versi Michael
Shannon tampil dengan baik meski tidak mengesankan. Shannon menampilkan sosok
jendral yang kuat dan siap mengorbankan apapun demi menjaga bangsanya. Tapi lambat
laun karakternya pun jadi membosankan (I
miss the old campy General Zod by Stamps in ‘Superman II’).
Ketika ‘Man of Steel’ tengah
memasuki masa pre-production, kemudian
muncul berita bahwa Christopher Nolan akan duduk di kursi produser semua orang tampak
mafhum jika ‘Man of Steel’ akan jadi Superman
versi The Dark Knight Trilogy. And
it was. It is the gravest version of all. Mulai dari kostum berwarna biru
gelap yang menyerupai hitam dan warna cape
yang burgundy. So, Superman just lost his sense of bright pop fashion. Atmosfer
serius dalam film ini diperparah dengan adanya preaching dari berbagai karakter. Mulai dari Jor-El hingga Pa Kent
yang terus menerus memberikan teladan bagi anaknya (dan juga penonton). And it was really party-pooping.
Hal yang mencolok dalam film ini
adalah penggunaan CGI untuk pertarungan yang sangat destruktif. Like Superman and his Kryptonians villains
need to smash all things. Rupanya penggunan CGI yang berlebihan ini
memiliki alasan khusus. Berdasarkan
tulisan David Edelstein tentang buku Sleepless
in Hollywood karya Lynda Obst, ada alasan dibalik kenapa banyak sekali film
Hollywood yang kini menampilkan aksi dengan CGI, penuh ledakan dan efek-efek
IMAX serta 3D. Rupanya efek yang sangat meledak-ledak ini, jadi faktor yang
membuat film Hollywood laku dan meraih keuntungan besar di berbagai negara,
termasuk di China, negara yang selama ini menutup diri dari Hollywood. Bahkan uang
dari penonton China mampu menyumbang sebesar 80% dari keuntungan film Hollywood
tersebut..
Back to the movie, ‘Man of Steel’ is a Superman’s lost story. Karakteristik film ini melenceng jauh
dari joyful and pop sense yang biasa
ditampilkan dalam semua penampilan Superman baik di film maupun di komik.
Superman adalah pop culture icon. Dia
seharusnya menyenangkan, segar dan fun. ‘Man
of Steel’ benar-benar menghilangkan ciri khas pop culture dari Superman, tapi bagaimanapun itu menyenangkan untuk
melihat versi cerita lain dari this
grand-daddy of superhero.
if you want to know me in person just check my personal account:
Twitter - Facebook - Tumblr - Pinterest - Instagram
if you want to know me in person just check my personal account:
Twitter - Facebook - Tumblr - Pinterest - Instagram