‘The Great Gatsby’. Awalnya saya sama sekali tidak punya bayangan
film apakah ini. Aksi? Drama? Thriller? Atau jenis film ‘njelimet’ yang biasa
dibintangi oleh Leonardo DiCaprio? Judulnya pun tidak memberikan saya petunjuk
sedikitpun tentang film ini. Apa sih hebatnya si Gatsby ini sampai harus
dijuluki ‘The Great’? Well, semua
pertanyaan saya terjawab ketika melihat adegan the main character, Jay Gatsby (Leonardo DiCaprio). Adegan tersebut
menampakan wajah Gatsby secara close-up,
sementara di belakangnya tampak kembang api berwarna-warni di langit malam, dan
gemuruh teriakan orang-orang di pesta mewah yang diadakan olehnya. Intinya
Gatsby tampak menjanjikan sebagai ‘The Great’. Muda, tampan, kaya raya,
menyenangkan dan punya banyak teman.
Awal film digunakan untuk
memperkenalkan seluruh kehebatan Gatsby dari sudut pandang Nick Carraway (Tobey
Maguire), pengamat-teman-sekaligus narrator
dari kisah hidup Gatsby. Nick, bercerita dari masa depan, menghantarkan kita
pada kisah Gatsby, tetangganya yang misterius, suka mengamati Nick dari
kastilnya yang besar, atau berdiri melamun pada malam hari di dermaga mencoba
menggapai sesuatu. Lalu kemudian Nick punya kesempatan mengenal Gatsby lebih
jauh, dan penonton pun bisa tahu seperti apa sosok Gatsby. Pria ini hidup
bergelimang harta di rumah yang menyerupai Disney
magical castle, menyelenggarakan pesta di setiap akhir pekan, berteman dengan orang-orang hebat, serta
tampak punya bisnis rahasia, karena begitu seringnya telepon berdering untuknya.
Seperti Nick yang kagum dengan
kehidupan Gatsby, penonton juga dibawa terkagum-kagum dengan pesta yang disajikan di layar. Baz Luhrmann, sang sutradara menampilkan pesta yang hebat, tampak seperti penampilan Broadway yang dibawa ke dalam istana. Confetti, wine, balon, wanita
dengan gaun dan hiasan kepala yang unik, pria berjas mahal dan trendy, penari yang berkostum gemerlap,
belum lagi rumah Gastby sendiri sangat mengagumkan dengan sentuhan Art Deco dan lampu gemerlap seperti berlian. Very extravagant.
Namun seluruh kemewahan, uang,
minuman keras dan istana yang dimiliki Gatsby hanyalah sebuah bagian dari
upayanya mencapai obsesi terbesarnya, yakni cinta pertama yang gagal
dimilikinya, seorang wanita bernama Daisy Buchanan (Carey Mulligan), yang juga sepupu
Nick. Daisy kini telah berkeluarga dengan seorang pria kaya bernama Tom Buchanan
(Joel Edgerton). Disinilah kita bisa
melihat sosok lain dari Gatsby, ia bukan sekedar pria kaya yang royal atau
pebisnis dengan uang haram, ia adalah seorang pria romantis yang ingin bersama
dengan wanita yang dicintainya. Mimpi terbesarnya adalah mengulang waktu agar
bisa kembali bersama Daisy.
Jika sebelumnya Luhrmann
menampilkan pesta yang luar biasa hebatnya, kini harus dikatakan ia kurang
mampu menampilkan sisi romantisme sekaligus adegan flashback Gatsby dan Daisy. Adegan
flashback dibuat dengan hitam putih dan efek computer yang kasar (entah jika
memang dibuat sengaja seperti itu), atau adegan dimana Gatsby mengingat surat
terakhirnya untuk Daisy, yang tampak terbayang di langit. Cukup menggelikan dan
mengganggu. Beberapa review malah mengatakan gaya Luhrmann dalam mengadaptasi
novel masterwork karya F. Scott
Fitzgerald ini, sangat kasar, vulgar dan cenderung norak. Luhrmann tampak
terlalu fokus menampilkan sisi gemerlap dan berlebihan dalam dramatisasi beberapa
adegan, hingga The New Yorker dan The Guardian memasukan kata ‘orgy’ dalam impresinya terhadap beberapa
adegan. Tapi, saya harus akui saya tidak terlalu terganggu dengan gaya
sutradara Luhrmann. Sejak menyaksikan ‘Romeo
+ Juliet’ yang menurut saya comical
dan sangat pop, saya cukup menyukai gaya penyutradaraanya, meski memang ‘The Great Gatsby’ jauh lebih berlebihan
dibandingkan ‘Romeo + Juliet’.
Terkadang efek latar dari komputer yang tampak tidak menyatu dengan para aktor justru
menjadikan kisah ini seperti berada di dunia dongeng yang tampak unreal.
Pujian tertinggi harus saya
haturkan pada sosok Leonardo DiCaprio. Ia tampil meyakinkan, sebagai sosok pria
yang begitu optimis, namun di kesempatan lain bisa sangat grogi dan naïve bila berhadapan dengan pujaan
hatinya. Adegan yang menurut saya tidak bisa dilupakan dalam film ini ketika
Gatsby tampak luar biasa grogi menantikan kesempatan bertemu kembali dengan
Daisy. Leo mampu mendapatkan simpati penonton atas romantisme sekaligus
menimbulkan gelak tawa karena sikapnya. Penampilan Leo dalam 'The Great Gatsby' sekaligus mengingatkan saya betapa ia punya pesona yang kuat. Sama seperti Jack Dawson dalam 'Titanic', tatapan mata Gatsby sanggup melelehkan hati wanita.
Carey Mulligan sendiri tampil
luar biasa cantik. Mulligan mampu menjadi sosok Daisy yang rapuh, ketakutan dan
bingung atas apa yang ia inginkan. Daisy menjadi tipikal wanita yang selalu
diinginkan pria, namun ia sendiri bingung atas apa yang ia inginkan. Hingga
butuh sebuah ledakan emosi besar dalam film ini untuk menggoncangnya dan
membuat ia mengambil sikap.
Sementara Tobey Maguire sebagai
Nick Carraway juga tidaklah buruk, meski jauh dari kata mengesankan. Kaitan emosi
antara Nick dan Gatsby merupakan salah satu hal yang tampak dengan sangat baik
dalam film ini. Nick memiliki kekaguman (atau rasa cinta ?) luar biasa besar
pada sosok Gatsby, meski diawal sempat tak percaya padanya. Pada akhirnya hanya
Nick lah sosok yang selalu menemani Gatsby dan memberikan pujian baginya,
"They're a rotten crowd. You're worth the
whole damn bunch put together." –Nick Carraway
Lantas sebenarnya bercerita
tentang apakah film ini? Kisah cinta? Pada dasarnya ya, salah satu sisi kisah
ini ialah romantisme percintaan. Tetapi kisah ‘The Great Gatsby’ sebagai salah satu novel klasik terbaik dalam
sejarah sastra Amerika, bercerita tentang American
Dreams. Uang yang melimpah, pesta yang mewah, mobil bagus, jas mahal, dan
tentunya seks. Jika Gatsby adalah sosok yang berhasil meraih American Dreams, Nick adalah pria yang
baru hendak menapaki mimpi tersebut, namun akhirnya melihat betapa busuk dan
memuakannya semua itu.
Akan tetapi interpretasi saya tentang
film ini bisa saja salah. Maklum saja karena menurut beberapa sumber, usai
novel ini diterbitkan, Fitzgerald mengeluhkan bahwa dari seluruh kritik yangditujukan pada novel ini, tidak ada satupun yang mampu memahami tentang makna sebenarnya dari ‘The Great Gatsby’. Dan
mungkin memang belum ada seorang pun yang paham betul tentang apa sebenarnya
film ini. Jika menurut beberapa orang interpretasi Luhrmann serta rekan
penulisnya, Craig Pearce, terhadap kisah Gatsby adalah terlalu dangkal dan
tidak menampilkan keseluruhan lapisan dan intrik di dalamnya, maka itu bisa
saja. Tapi bagi saya yang memang tidak mengenal kisah ini sebelumnya serta
belum membaca novelnya, saya cukup merasa puas menyaksikan Gatsby dan obsesinya
berdasarkan perspektif Luhrmann, meskipun berarti saya ikut menjadi dangkal dan
norak bersama Luhrmann, seperti tuduhan kritikus lainnya.