Monday, May 20, 2013

The Great Gatsby (2013) : Hopelessly Romantic or American Dream?




‘The Great Gatsby’. Awalnya saya sama sekali tidak punya bayangan film apakah ini. Aksi? Drama? Thriller? Atau jenis film ‘njelimet’ yang biasa dibintangi oleh Leonardo DiCaprio? Judulnya pun tidak memberikan saya petunjuk sedikitpun tentang film ini. Apa sih hebatnya si Gatsby ini sampai harus dijuluki ‘The Great’? Well, semua pertanyaan saya terjawab ketika melihat adegan the main character, Jay Gatsby (Leonardo DiCaprio). Adegan tersebut menampakan wajah Gatsby secara close-up, sementara di belakangnya tampak kembang api berwarna-warni di langit malam, dan gemuruh teriakan orang-orang di pesta mewah yang diadakan olehnya. Intinya Gatsby tampak menjanjikan sebagai ‘The Great’. Muda, tampan, kaya raya, menyenangkan dan punya banyak teman.

Awal film digunakan untuk memperkenalkan seluruh kehebatan Gatsby dari sudut pandang Nick Carraway (Tobey Maguire), pengamat-teman-sekaligus narrator dari kisah hidup Gatsby. Nick, bercerita dari masa depan, menghantarkan kita pada kisah Gatsby, tetangganya yang misterius, suka mengamati Nick dari kastilnya yang besar, atau berdiri melamun pada malam hari di dermaga mencoba menggapai sesuatu. Lalu kemudian Nick punya kesempatan mengenal Gatsby lebih jauh, dan penonton pun bisa tahu seperti apa sosok Gatsby. Pria ini hidup bergelimang harta di rumah yang menyerupai Disney magical castle, menyelenggarakan pesta di setiap akhir pekan,  berteman dengan orang-orang hebat, serta tampak punya bisnis rahasia, karena begitu seringnya telepon berdering untuknya.

Seperti Nick yang kagum dengan kehidupan Gatsby, penonton juga dibawa terkagum-kagum dengan pesta yang disajikan di layar. Baz Luhrmann, sang sutradara menampilkan pesta yang hebat, tampak seperti penampilan Broadway yang dibawa ke dalam istana. Confetti, wine, balon, wanita dengan gaun dan hiasan kepala yang unik, pria berjas mahal dan trendy, penari yang berkostum gemerlap, belum lagi rumah Gastby sendiri sangat mengagumkan dengan sentuhan Art Deco dan lampu gemerlap seperti berlian. Very extravagant.

Namun seluruh kemewahan, uang, minuman keras dan istana yang dimiliki Gatsby hanyalah sebuah bagian dari upayanya mencapai obsesi terbesarnya, yakni cinta pertama yang gagal dimilikinya, seorang wanita bernama Daisy Buchanan (Carey Mulligan), yang juga sepupu Nick. Daisy kini telah berkeluarga dengan seorang pria kaya bernama Tom Buchanan (Joel Edgerton).  Disinilah kita bisa melihat sosok lain dari Gatsby, ia bukan sekedar pria kaya yang royal atau pebisnis dengan uang haram, ia adalah seorang pria romantis yang ingin bersama dengan wanita yang dicintainya. Mimpi terbesarnya adalah mengulang waktu agar bisa kembali bersama Daisy.

Jika sebelumnya Luhrmann menampilkan pesta yang luar biasa hebatnya, kini harus dikatakan ia kurang mampu menampilkan sisi romantisme sekaligus adegan flashback Gatsby dan Daisy. Adegan flashback dibuat dengan hitam putih dan efek computer yang kasar (entah jika memang dibuat sengaja seperti itu), atau adegan dimana Gatsby mengingat surat terakhirnya untuk Daisy, yang tampak terbayang di langit. Cukup menggelikan dan mengganggu. Beberapa review malah mengatakan gaya Luhrmann dalam mengadaptasi novel masterwork karya F. Scott Fitzgerald ini, sangat kasar, vulgar dan cenderung norak. Luhrmann tampak terlalu fokus menampilkan sisi gemerlap dan berlebihan dalam dramatisasi beberapa adegan, hingga The New Yorker dan The Guardian memasukan kata ‘orgy’ dalam impresinya terhadap beberapa adegan. Tapi, saya harus akui saya tidak terlalu terganggu dengan gaya sutradara Luhrmann. Sejak menyaksikan ‘Romeo + Juliet’ yang menurut saya comical dan sangat pop, saya cukup menyukai gaya penyutradaraanya, meski memang ‘The Great Gatsby’ jauh lebih berlebihan dibandingkan ‘Romeo + Juliet’. Terkadang efek latar dari komputer yang tampak tidak menyatu dengan para aktor justru menjadikan kisah ini seperti berada di dunia dongeng yang tampak unreal.

Pujian tertinggi harus saya haturkan pada sosok Leonardo DiCaprio. Ia tampil meyakinkan, sebagai sosok pria yang begitu optimis, namun di kesempatan lain bisa sangat grogi dan naïve bila berhadapan dengan pujaan hatinya. Adegan yang menurut saya tidak bisa dilupakan dalam film ini ketika Gatsby tampak luar biasa grogi menantikan kesempatan bertemu kembali dengan Daisy. Leo mampu mendapatkan simpati penonton atas romantisme sekaligus menimbulkan gelak tawa karena sikapnya. Penampilan Leo dalam 'The Great Gatsby' sekaligus mengingatkan saya betapa ia punya pesona yang kuat. Sama seperti Jack Dawson dalam 'Titanic', tatapan mata Gatsby sanggup melelehkan hati wanita. 



Carey Mulligan sendiri tampil luar biasa cantik. Mulligan mampu menjadi sosok Daisy yang rapuh, ketakutan dan bingung atas apa yang ia inginkan. Daisy menjadi tipikal wanita yang selalu diinginkan pria, namun ia sendiri bingung atas apa yang ia inginkan. Hingga butuh sebuah ledakan emosi besar dalam film ini untuk menggoncangnya dan membuat ia mengambil sikap.

Sementara Tobey Maguire sebagai Nick Carraway juga tidaklah buruk, meski jauh dari kata mengesankan. Kaitan emosi antara Nick dan Gatsby merupakan salah satu hal yang tampak dengan sangat baik dalam film ini. Nick memiliki kekaguman (atau rasa cinta ?) luar biasa besar pada sosok Gatsby, meski diawal sempat tak percaya padanya. Pada akhirnya hanya Nick lah sosok yang selalu menemani Gatsby dan memberikan pujian baginya,

"They're a rotten crowd. You're worth the whole damn bunch put together." –Nick Carraway

Lantas sebenarnya bercerita tentang apakah film ini? Kisah cinta? Pada dasarnya ya, salah satu sisi kisah ini ialah romantisme percintaan. Tetapi kisah ‘The Great Gatsby’ sebagai salah satu novel klasik terbaik dalam sejarah sastra Amerika, bercerita tentang American Dreams. Uang yang melimpah, pesta yang mewah, mobil bagus, jas mahal, dan tentunya seks. Jika Gatsby adalah sosok yang berhasil meraih American Dreams, Nick adalah pria yang baru hendak menapaki mimpi tersebut, namun akhirnya melihat betapa busuk dan memuakannya semua itu.

Akan tetapi interpretasi saya tentang film ini bisa saja salah. Maklum saja karena menurut beberapa sumber, usai novel ini diterbitkan, Fitzgerald mengeluhkan bahwa dari seluruh kritik yangditujukan pada novel ini, tidak ada satupun yang mampu memahami tentang makna sebenarnya dari ‘The Great Gatsby. Dan mungkin memang belum ada seorang pun yang paham betul tentang apa sebenarnya film ini. Jika menurut beberapa orang interpretasi Luhrmann serta rekan penulisnya, Craig Pearce, terhadap kisah Gatsby adalah terlalu dangkal dan tidak menampilkan keseluruhan lapisan dan intrik di dalamnya, maka itu bisa saja. Tapi bagi saya yang memang tidak mengenal kisah ini sebelumnya serta belum membaca novelnya, saya cukup merasa puas menyaksikan Gatsby dan obsesinya berdasarkan perspektif Luhrmann, meskipun berarti saya ikut menjadi dangkal dan norak bersama Luhrmann, seperti tuduhan kritikus lainnya.