Saturday, April 8, 2017

Setumpuk Pekerjaan Rumah Untuk Hanung Bramantyo, Catatan Dari Kartini (2017)

Well, I am not sure, how to start this review.
But, let me try.

Offended. Itu perasaan saya setelah selama dua jam menyaksikan film terbaru Hanung Bramantyo, Kartini.

Sejujurnya, bukan kesalahan Hanung, melainkan kesalahan saya karena setuju untuk menyaksikan film ini. Saya tidak familiar dengan karya-karya Hanung, namun karya-karyanya yang selalu identik dengan genre drama populer bukan tipe film favorit saya. 

Dari sekian banyak filmography Hanung, saya sempat menyaksikan beberapa di antaranya. Namun yang berkesan dan cukup membekas adalah Jomblo (2006) dan Get Married (2007). Dua film komedi yang segar di antara banyaknya film horor mesum di tahun-tahun tersebut. 

Penilaian saya terhadap beliau sebagai sutradara film drama populer semakin valid saat ia merilis Habibie & Ainun dan Rudy Habibie. Dua film yang tidak akan pernah saya tonton apapun yang terjadi. Sebab saya tak tega kalau harus menyaksikan sosok idola saya dinterpretasikan hanya berdasarkan perjalanan rumah tangganya saja, padahal beliau punya sederet pencapaian luar biasa dan momentum lain yang lebih penting untuk ditonjolkan ketimbang dramatisasi masa mudanya di Jerman.




Berbicara mengenai Kartini, film ini kabarnya menghabiskan waktu dua tahun untuk riset. Diisi oleh jajaran aktor dan aktris papan atas Indonesia, yang Hanung sebut sengaja ia pilih berdasarkan kepopuleran dan talenta para pemain ini. Kemudian para pemeran dituntut untuk melakukan berbagai latihan - yang adalah hal wajar untuk mendalami peran, guna menghidupkan kembali kisah Kartini.

Adalah Dian Sastrowardoyo yang didaulat menjadi sosok Kartini. Satu-satunya pahlawan wanita Indonesia yang memiliki hari besar. Kartini atau yang dikenal juga dengan nama Raden Ajeng Kartini adalah sosok yang dianggap berperan besar dalam menetapkan fondasi emansipasi wanita di Tanah Air. Anda boleh setuju atau tidak namun itulah yang diakui oleh negara. Sama dengan pemilihan Dian Sastrowardoyo, Anda bisa setuju atau tidak, namun bagi saya keputusan tersebut bukan hal yang tepat, mengingat usia Kartini yang ditampilkan dalam film berkisar saat ia masih belasan tahun sampai akhirnya beliau menikah di awal usia '20-an, yang tentunya memiliki fisik berbeda dengan Dian Sastrowardoyo yang berusia lebih tua. 



Deddy Soetomo sebagai R.M. Adipate Ario Sosrodiningrat, Dian Sastrowardoyo sebagai Kartini, dan Christine Hakim sebagai Ngasirah, ibu kandung Kartini.


Dalam sebuah konferensi pers, Hanung berkata bahwa Kartini merupakan tafsir kekinian tentang perjuangan seorang wanita yang dibelenggu oleh tradisi dan tatakrama di zamannya. Bukan sekadar menunjukan penggambaran hidupnya, tapi film ini juga medium untuk memaparkan pergolakan batinnya dan alasan dari keputusan-keputusan Kartini. Semuanya dibungkus oleh Hanung dalam kemasan yang menurutnya ringan dan populer.

Hasilnya? Hanung sukses membuat film ini benar-benar ringan sampai saya khawatir jangan-jangan setelah ini masyarakat Indonesia malah berpikir Kartini tak ada apa-apanya sebagai pahlawan nasional. Hanung menunjukan bahwa pemikiran dan perilaku Kartini memang jauh lebih maju ketimbang wanita-wanita seumurannya. Namun kemajuan Kartini ditampilkan sebagai privilege yang didapatnya sebagai anak Bupati Jepara, dan hasil kemurahan hati kaum pria di sekelilingnya.

Kartono (Reza Rahadian) kakak Kartini yang kemudian mengenyam pendidikan ke Belanda, yang menyarankan Kartini untuk mulai membaca buku selama dipingit. Ayah kartini, Raden Mas Adipati Ario Sosrodiningrat (Deddy Soetomo) yang pada akhirnya luluh dan membolehkan Kartini untuk mencoba mengambil beasiswa. Lalu terakhir di penutup film, berkat kemurahan hati suaminya, Kartini bisa mendirikan sekolah yang menjadi salah satu pencapaian terbesarnya.

Padahal, Hanung bisa sedikit lebih berani mengambil sudut yang berbeda di film ini. Misalnya fokus pada surat-surat Kartini yang dikirimkan pada korespondennya di Belanda,  Stela Zeehandelaar. Surat-surat yang kemidian dibukukan dalam Habis Gelap Terbitlah Terang, justru adalah rekaman nyata dari pemikiran progresif Kartini, kegundahannya, hingga realita kehidupan kaumnya yang dilihatnya sehari-hari. Mengambil contoh dari Istirahatlah Kata-Kata yang memasukan selipan puisi-puisi Wiji Thukul sebagai bagian dari narasi, bisa menjadi opsi yang baik untuk Kartini.

Akan tetapi elemen film yang membuat saya tersinggung dan merasa diremehkan adalah makeup dan editing. Pertama makeup yang digunakan sangat mengecewakan. Untuk ukuran film nasional hasil garapan sutradara sekelas Hanung Bramantyo dan menampilkan aktris sekaliber Christine Hakim serta Dian Sastrowardoyo, makeup dalam Kartini bisa dikategorikan mengerikan.

(Dok. Legacy Pictures)

Beberapa pemeran pembantu wanita yang adalah orang asing terlihat makeup-nya luntur sehingga  menempel  pada bagian kerah kostum. Tak cuma itu, makeup yang berantakan tersebut juga disorot secara close up dalam beberapa kesempatan. Apakah di antara puluhan kru dan tim yang memproses Kartini tak ada yang cukup waras atau berani mengatakan bahwa keteledoran seperti itu tak bisa diterima? Makeup yang berantakan dan kostum yang terlihat seadanya, terutama yang dikenakan oleh pemeran orang asing, menunjukan adanya ketidakseriusan dalam penggarapan Kartini. Atau para kru yang berada di balik layar tak peduli dan membiarkan penonton film Indonesia mengonsumsi sesuatu yang dibiarkan berantakan… How can you not be offended?

Begitupun dengan aspek editing. Saya pikir tindakan memasukan shoot yang buram karena diambil dengan drone dengan kamera berkemampuan rendah, juga tak layak untuk diterima. Mungkin alasan Hanung adalah untuk memperkaya shoot, namun rasanya keberadaan gambar buram selama beberapa detik tersebut tak krusial untuk jalan cerita, tapi penting untuk menjaga kesempurnaan keseluruhan gambar.

Karakter-karakter yang dimunculkan tampaknya tidak memiliki stand point yang jelas. Seperti Slamet (Denny Sumargo) kakak Kartini, jika di pertengahan film terkesan tidak menyukai Kartini namun di akhir film tiba-tiba ingin melindungi Kartini. Atau kakak laki-laki Kartini lain (saya tidak tahu siapa namanya) yang muncul hanya untuk mengolok-olok Kartini dan menjadi sidekick dari Slamet. Apa perlunya karakter tersebut? Haruskah memasukan pola bullying ala anak SMA dalam film biopic tentang seorang pahlawan?

Kartini bagi saya adalah bukti tambahan yang seharusnya cukup untuk membuat Hanung berhenti sejenak dan memikirkan kembali keputusannya dalam membuat film-film biopik, setelah sebelumnya tak berhasil dengan Soekarno. Tak pantas rasanya kalau kisah dari tokoh-tokoh panutan ini mendapatkan perlakuan yang tak sepenuh hati, dibuat dengan tergesa-gesa, serta terkesan seadanya. Konon, Hanung akan bertanggung jawab untuk menyutradarai adaptasi dari salah satu karya sastra terbaik di Indonesia. Saya harap sebelum itu terjadi, Hanung telah menuntaskan dulu pekerjaan-pekerjaan rumahnya agar tak lagi menghasilkan film berdurasi dua jam yang hanya membuat saya sakit kepala.