Wednesday, June 11, 2014

Maleficent (2014): Bring Me More Evil and Wicked Jolie!

Empat tahun absen di layar lebar tentunya publik menanti-nanti kehadiran salah satu Hollywood Royalty, Angelina Jolie. Sejujurnya, saya termasuk penggemar tunangan Brad Pitt ini, maka wajar kalau perannya dalam film Disney yang sangat un-Jolie-like, begitu saya tunggu. Beberapa trailers yang telah di buzz berbulan-bulan menunjukan ‘how wicked and badass she is’. Keren. Selain itu, tone film jauh lebih ‘gelap’ dibandingkan tipe film Disney lain yang bubbly dan happy.

Poster Maleficent yang membuat saya 'jatuh cinta'

Adegan dibuka dengan kisah masa kecil Maleficent. Sisi yang selama ini tidak tertulis dalam tiap dongeng. Maleficent adalah peri terkuat pelindung Moors, kawasan yang dihuni makhluk-makhluk fantasi. Maleficent kecil memiliki seorang sahabat manusia bernama Stefan. Di usia mereka yang ke-16, mereka berikrar dengan sebuah ciuman cinta sejati. Namun lambat laun, Stefan mulai berubah. Keserakahannya menjadikan Stefan tega memotong sayap Maleficent demi mengambil hati raja yang sudah sepuh dan menikahi puteri mahkota. Merasa dikhianati, Maleficent berubah menjadi sosok penuh angkara murka yang siap membalas dendam pada Raja Stefan.

Maleficent merupakan debut penyutradaraan Robert Stormberg yang sebelumnya sukses membawa pula 2 piala Oscar atas kiprahnya sebagai production designer dalam film Alice in Wonderland dan Avatar. Sayangnya Stormberg tak begitu piawai menerjemahkan skrip. Adegan yang muncul terasa berantakan dan tidak terarah. Narasi lambat, membuat adegan pembukaan terasa begitu panjang dan membosankan. Penyelamat dari kejenuhan ini adalah angkara murka Angelina Jolie.

Delishly evil!

Sebagai peri yang dikhianati, Jolie bisa mengeluarkan kepedihan itu dengan begitu baik. Namun tidak ada yang dapat mengalahkan ekspresi penuh dendam diwajahnya. Justru saya menatap layar penuh kekaguman saat Jolie hadir dengan bibir merah darah, tanduk yang mencuat, mata berkilat-kilat dan dendam kesumat. Aura jahatnya justru membuat film terasa lebih hidup dan menarik. Sebagai pembalasan dendamnya, ‘The Evil Maleficent’ hadir dalam pesta pembaptisan Aurora, putri Stefan. Kehadirannya di layar menutupi pesona pemeran lainnya. Jolie menguasai betul film ini.

Adegan-adegan minus Jolie, lewat begitu saja. Kehadiran tiga aktris papan atas Inggris, Imelda Staunton (Prof. Umbridge dalam Harry Potter), Juno Temple (Atonement, The Dark Knight Rises) dan Lesley Manville (Romeo & Juliet) sebagai trio peri pelindung Aurora, hanya jadi pengundang tawa yang tak di eskplorasi lebih jauh. Dijadikannya Sharlto Copley sebagai King Stefan rasanya adalah sebuah kesalahan. Ia bukan tandingan Jolie. Saat adegan berpasangan dengan Jolie, ia tampak menghilang dari layar. Untungnya, Elle Fanning bisa dengan mudah mencuri perhatian dalam film. Sebagai Aurora ia bisa menyeimbangkan kuatnya intensitas Jolie.

Sebagai penulis naskah Linda Woolverton memilih menunjukan sisi lain Maleficent ketika berhadapan dengan Aurora. Kebencian Maleficent menuntunnya pada perasaan sayang kepada Aurora. Meskipun ia menjuluki Aurora sebagai ‘Beasty’ alias Monster Kecil, rasa simpati tumbuh membuatnya menyesal telah mengutuk Aurora. Menggunakan ending a la Frozen, Maleficent dijadikan sebagai pemilik cinta sejati untuk Aurora.

Ketika promo film ini, Jolie pernah berkata bahwa sejak kecil ia menyukai sosok Maleficent karena daya tarik keangkuhan dan sisi jahat yang begitu menggoda. Pesona ini justru berkurang dalam Maleficent. Membiarkan penonton bersimpati dan melihatnya sebagai korban bukan pelaku. Padahal misteri kekejaman dan arogansi Maleficent membuatnya menjadi simbol antagonis Disney yang ikonik, dan tak terlupakan. Secara pribadi saya memilih untuk tetap melihat Maleficent sebagai The Evil, ketimbang menyaksikannya meneteskan air mata duka menangisi Aurora yang jatuh dalam tidur 1 menit panjangnya.


Mengharapkan Jolie membawakan aksi kejam dan licik yang sanggup membuat bulu roma berdiri, saya justru mendapatkan penjahat yang bertobat. Kerinduan menyaksikan aksi memukau Jolie di layar rasanya tak terpuaskan. Ledakan amarah dan kejahatan yang saya tunggu muncul hanya sekejap. I wish they showed me more deliciously evil Maleficent… 

Friday, June 6, 2014

How to Train Your Dragon 2 (2014): Funnier, Heavier and Toothless

Berusaha mengulang kesuksesan film pertamanya di 2010, DreamWorks merilis How to Train Your Dragon 2, kisah persahabatan tidak biasa antara manusia dan naga. Masih dikomandoi oleh Dean DeBlois, Dragon 2 ditunggu dengan iming-iming aksi yang lebih atraktif, konflik yang lebih matang dan menyayat hati. Coba ingat kembali ending How to Train Your Dragon yang menunjukan pada penonton bahwa pahlawan memang harus berkorban dan bahagia tak berarti sempurna. Akhir tidak terduga dari sebuah film animasi yang identik dengan ‘happy ever after’.



Dragon 2 dibuka dengan kondisi Berk, masyarakat Viking, lima tahun pasca konflik besar mereka dengan para naga. Kini masyarakat Berk hidup rukun bersama para naga. Makhluk penyembur api ini dilibatkan dalam setiap aktivitas warga. Bahkan sebuah pertandingan macam Quidditch pun melibatkan naga sebagai tunggangan. Sementara Stoick (Gerard Butler) kepala suku Berk ingin agar putranya, Hiccup (Jay Baruchel), menjadi kepala suku menggantikannya. Namun Hiccu lebih memilih mengeksplorasi daratan jauh bersama naga hitam kesayangannya yang menggemaskan, Toothless. Hiccup merasa menjadi kepala suku bukanlah ‘dirinya’.



DeBlois kembali berhasil memukau penonton dengan persahabatan antara Hiccup dan Toothless yang memang daya tarik terkuat dalam Dragon 1. Tingkah lucu Toothless benar-benar membuat penonton gemas pada hewan legenda ini. Sebagai karakter tanpa dialog, Toothless tetap jadi tokoh sentral yang menarik hati penonton dengan gestur dan kelakuannya yang menyerupai anak kucing. Toohtless jadi pencuri perhatian dalam setiap adegan!

Dibuka dengan menyenangkan dan berenergi kemudian digantikan oleh adegan mengundang air mata akibat konflik keluarga. Hiccup akhirnya bertemu kembali dengan ibunya, Valka (Cate Blanchett) yang selama ini ia anggap telah mati. Sang ibu yang menjadi penjaga para naga, memohon kesempatan kedua kepada anak yang ia tinggalkan. Valka memohon maaf dan memintanya untuk kembali membangun keluarga yang utuh. Sebuah lagu romantis a la Viking pun dinyanyikan oleh sosok besar Stoick pada Valka untuk memenangkan hatinya kembali. Adegan yang menyentuh hati.  

Tiran jahat hadir lewat sosok Drago Bludvist (Djimon Hounsou) yang berambisi menguasai semua naga dengan mengalahkan naga alfa yang selama ini dilindungi Valka. Peperangan pun tak terelakkan, dan memakan korban jiwa yang begitu besar, sekaligus mempertaruhkan persahabatan Hiccup dan Toothless.

DeBlois jelas berusaha menyeimbangkan setiap subplot yang dalam Dragon 2, dan sukses. Tiap bagian memiliki porsi jelas yang tidak sia-sia. Melewati berbagai konflik, mood penonton ikut terbentuk mengikut karakter berkat bantuan scoring yang luar biasa memikat dari John Powell. Sebelumnya score masuk nominasi Best Original Score untuk Academy Awards 2011 berkat karyanya dalam Dragons 1, dan rasanya ia menjadi kandidat kuat untuk kembali masuk nominasi tahun depan.

Multi konflik yang dihadirkan sedikit mengurangi pesona film ini. Dragon 2 memang lebih penuh aksi dan menghibur, namun bertubi-tubinya konflik yang dihadapi oleh Hiccup serta banyaknya karakter menghilangkan kesederhanaan dan kedalaman emosi yang sebelumnya menjadi daya tarik Dragon 1. Deretan kisah yang seharusnya membantu menyusun kerangka emosi justru menjadi bumerang yang mendangkalkan keterikatan penonton pada sosok protagonis. Meskipun begitu, Dragon 2 tetap menjadi animasi istimewa yang berbeda dibandingkan karya DreamWorks lainnya.