Sunday, January 22, 2017

Istirahatlah Kata-Kata (2016): Antara Sajak dan Simbol

Pertama saya mengetahui film ini adalah dari media sosial. Beberapa sineas yang saya follow di Twitter dan Instagram dengan gencar mempromosikan film ini. Istirahatlah Kata-Kata merupakan fim biografi yang menceritakan tahun-tahun terakhir kehidupan Wiji Thukul. Sebelum akhirnya ia hilang tanpa jejak hingga saat ini.



Saya sendiri harus mengakui bahwa Wiji Thukul bukanlah nama yang berarti buat saya. Ketika kasusnya merebak, saya masih terlalu kecil untuk ingat, dan ketika dewasa, saya hanya mendengar dan tahu sekelebat mengenai kisah hidupnya.

Hal yang saya ketahui sebatas bahwa Wiji Thukul merupakan seorang aktivis sekaligus sastrawan yang gemar mengkritik Orde Baru lewat sajak-sajaknya. Orde yang anti-kritik ketika itu merasa Wiji adalah ancaman hingga memburunya dan menekan keluarganya. Karya puisi beliaupun sejujurnya tak ada satupun yang pernah saya baca.

Selain awam dengan sosok utama dalam film, saya juga tak mengenal karya-karya sang sutradara, Yosep Anggi Noen, yang krab dipanggil Anggi. Setahu saya beliau merupakan jenis sutradara film festival yang sukses memukau dengan alur narasi dalam film–filmnya.

Maka berangkatlah saya menyaksikan Istirahatlah Kata-Kata tanpa ekspektasi. Tanpa kedekatan. Dan siap untuk dikejutkan dengan berbagai kemungkinan dan pengetahuan. Karena bagi saya menyaksikan film, terutama film tentang sosok yang ikonis seperti ini adalah proses untuk menemukan momen pencerahan yang saya harapkan bisa didapatkan seusai menyaksikan film.

Istirahatlah Kata-Kata dimulai dengan adegan yang kuat. Adegan interogasi seorang polisi (atau intel?) terhadap anak Wiji yang tengah dipeluk oleh ibunya dari belakang. Gestur interogator yang relaks namun terus mencecar si anak dengan pertanyaan mengenai keberadaan ayahnya menjadi simbol betapa represifnya rezim di era itu.



Kemudian adegan berpindah, menyoroti punggung seorang pria dengan lantunan lagu Darah Juang yang meneriakan bahwa inilah sosok Wiji Thukul (Gunawan Maryanto), si pejuang kata-kata. Wiji sedang dalam pelarian. Beliau berpindah-pindah di Pulau Kalimantan, dari kota ke kota lainnya, satu rumah ke rumah lain.

Selama masa pelarian, sutradara membiarkan penonton mendengar beberapa puisi terkenal Wiji Thukul yang sarat amarah pada rezim. Sebagai pengganti dialog, puisi diperdengarkan, karena dalam film Wiji memang jarang berucap. Seakan selain fisiknya yang bersembunyi, rohnya ikut bersembunyi dalam benaknya. Mungkin juga sibuk menimbun sajak-sajak, yang memang masih terus aktif ditulisnya semasa di pelarian.

Dalam beberapa hasil interview, sang sutradara menyebutkan bahwa film ini menjadi pengingat hutang pemerintah akan nasib para aktivis yang kini entah di mana rimbanya. Istirahatlah Kata-Kata juga sengaja dibuat dengan sederhana, karena memang dari sanalah asal seorang Wiji Thukul. Manusia biasa yang kemudian menjadi besar dalam perjuangan kaum menentang orde represif. Di tambah paya untuk menunjukan bahwa dibalik garangnya untaian kata-kata dalam puisinya, Wiji juga memiliki cemas dan takut terhadap keselamatan dirinya dan keluarganya.

Namun harus diakui, emosi manusiawi itu tak tersampaikan pada saya. Anggi sukses menghibur dengan sudut-sudut penceritaan yang berbeda. Memperlihatkan punggung para karakter untuk memaksa penonton bersimpati pada pergulatan batin, atau close up pada wajah Wiji untuk masuk dalam kecemasannya. Namun emosi itu tak konsisten sepanjang film.

Wiji tak banyak berdialog dalam film. Ia hanya melakukan aktivitas membosankan dalam kesehariannya. Sebagai gantinya, beberapa puisi Wiji sengaja dibacakan, menjadi latar, mungkin juga cuplikan pemikiran yang menghantuinya. Namun lagi-lagi hanya menjadi sekadar latar yang membuat saya lebih mendengarkan ketimbang menikmati layar.  

Mungkin Anggi terlalu sibuk dalam menyampaikan simbol-simbol untuk menarasikan Wiji. Sosok sederhana ini ia sampaikan dalam pola implisit yang tak mengena, terutama bagi saya yang awam terhadap beliau. Ini karena saya percaya Anggi telah melakukan riset mendalam, jadi permasalahan tentunya bukan pada sumber tapi pada cara penyampaian.

Selain adegan pembuka, adegan favorit saya dan yang menurut saya menyampaikan cukup banyak emosi adalah ketika Wiji dan temannya, Martin tengah mengantri di tukang cukur. Mereka terpaksa mengobrol dengan seorang ABRI. Hanya saat itulah saya merasakan benar emosi yang terpancar. Ketakutan Wiji akan bagian dari orde yang memburunya. Selain itu sepanjang film yang berdurasi 97 menit ini saya berusaha lebih banyak menatap layar tanpa emosi.  



Bahkan ketika adegan terakhir, saat Sipon (Marissa Anita) istri Wiji Thukul menangis marah dan menjadi adegan penutup dalam film, saya masih tak sanggup menangkap kebingungan yang harusnya dirasakan Sipon ketika meneriakan “Saya cuma mau kamu ada.” Perasaan dilema seorang istri yang bingung memilih apakah lebih baik suaminya yang buron terus bersembunyi tanpa akhir, atau pulang ke rumah namun membuat bertindak layaknya tahanan rumah.


Bagi saya seharusnya film ini bisa menuntun penonton untuk mengenal lebih baik sosok Wiji Thukul. Berinteraksi dengan sajak-sajaknya, lalu terinspirasi untuk terus bicara meski dipaksa bungkam. Atau menjadi ultimatum lantang kepada pemerintah dan inspirasi bahwa kata-kata tak akan padam meski berusaha diredam oleh intimidasi. Selayaknya semangat yang keluar dari seorang Wiji Thukul. 

Film yang bernarasi dengan lirih ini bagi saya bisa lebih lantang lagi dan tak terlalu bermain dengan simbol dan kritik subtil di era di mana seharusnya seorang sineas bisa berteriak banyak lewat karyanya kepada generasi yang mungkin tak lagi paham betapa berharganya kebebasan berkata-kata.


( Foto: Courtesy of Instagram @istirahatlahkatakata )