Pertama saya mengetahui film ini adalah
dari media sosial. Beberapa sineas yang saya follow di Twitter dan Instagram
dengan gencar mempromosikan film ini. Istirahatlah Kata-Kata merupakan fim biografi yang menceritakan tahun-tahun terakhir kehidupan Wiji Thukul.
Sebelum akhirnya ia hilang tanpa jejak hingga saat ini.
Saya sendiri harus mengakui bahwa Wiji
Thukul bukanlah nama yang berarti buat saya. Ketika kasusnya merebak, saya
masih terlalu kecil untuk ingat, dan ketika dewasa, saya hanya mendengar dan
tahu sekelebat mengenai kisah hidupnya.
Hal yang saya ketahui sebatas bahwa Wiji
Thukul merupakan seorang aktivis sekaligus sastrawan yang gemar mengkritik Orde
Baru lewat sajak-sajaknya. Orde yang anti-kritik ketika itu merasa Wiji adalah
ancaman hingga memburunya dan menekan keluarganya. Karya puisi beliaupun
sejujurnya tak ada satupun yang pernah saya baca.
Selain awam dengan sosok utama dalam film,
saya juga tak mengenal karya-karya sang sutradara, Yosep Anggi Noen, yang krab dipanggil Anggi. Setahu
saya beliau merupakan jenis sutradara film festival yang sukses memukau dengan
alur narasi dalam film–filmnya.
Maka berangkatlah saya menyaksikan
Istirahatlah Kata-Kata tanpa ekspektasi. Tanpa kedekatan. Dan siap untuk
dikejutkan dengan berbagai kemungkinan dan pengetahuan. Karena bagi saya
menyaksikan film, terutama film tentang sosok yang ikonis seperti ini adalah
proses untuk menemukan momen pencerahan yang saya harapkan bisa didapatkan
seusai menyaksikan film.
Istirahatlah Kata-Kata dimulai dengan
adegan yang kuat. Adegan interogasi seorang polisi (atau intel?) terhadap anak
Wiji yang tengah dipeluk oleh ibunya dari belakang. Gestur interogator yang relaks
namun terus mencecar si anak dengan pertanyaan mengenai keberadaan ayahnya
menjadi simbol betapa represifnya rezim di era itu.
Kemudian adegan berpindah, menyoroti
punggung seorang pria dengan lantunan lagu Darah Juang yang meneriakan bahwa
inilah sosok Wiji Thukul (Gunawan Maryanto), si pejuang kata-kata. Wiji sedang
dalam pelarian. Beliau berpindah-pindah di Pulau Kalimantan, dari kota ke kota
lainnya, satu rumah ke rumah lain.
Selama masa pelarian, sutradara membiarkan
penonton mendengar beberapa puisi terkenal Wiji Thukul yang sarat amarah pada
rezim. Sebagai pengganti dialog, puisi diperdengarkan, karena dalam film Wiji memang
jarang berucap. Seakan selain fisiknya yang bersembunyi, rohnya ikut
bersembunyi dalam benaknya. Mungkin juga sibuk menimbun sajak-sajak, yang
memang masih terus aktif ditulisnya semasa di pelarian.
Dalam beberapa hasil interview, sang
sutradara menyebutkan bahwa film ini menjadi pengingat hutang pemerintah akan nasib para aktivis yang kini entah di mana rimbanya. Istirahatlah Kata-Kata
juga sengaja dibuat dengan sederhana, karena memang dari sanalah asal
seorang Wiji Thukul. Manusia biasa yang kemudian menjadi besar dalam perjuangan
kaum menentang orde represif. Di tambah paya untuk menunjukan bahwa dibalik garangnya untaian kata-kata dalam puisinya, Wiji juga memiliki cemas dan takut terhadap
keselamatan dirinya dan keluarganya.
Namun harus diakui, emosi manusiawi itu tak
tersampaikan pada saya. Anggi sukses menghibur dengan sudut-sudut penceritaan
yang berbeda. Memperlihatkan punggung para karakter untuk memaksa penonton
bersimpati pada pergulatan batin, atau close up pada wajah Wiji untuk masuk
dalam kecemasannya. Namun emosi itu tak konsisten sepanjang film.
Wiji tak banyak berdialog dalam film. Ia
hanya melakukan aktivitas membosankan dalam kesehariannya. Sebagai gantinya,
beberapa puisi Wiji sengaja dibacakan, menjadi latar, mungkin juga cuplikan
pemikiran yang menghantuinya. Namun lagi-lagi hanya menjadi sekadar latar yang
membuat saya lebih mendengarkan ketimbang menikmati layar.
Mungkin Anggi terlalu sibuk dalam
menyampaikan simbol-simbol untuk menarasikan Wiji. Sosok sederhana ini ia
sampaikan dalam pola implisit yang tak mengena, terutama bagi saya yang awam
terhadap beliau. Ini karena saya percaya Anggi telah melakukan riset mendalam,
jadi permasalahan tentunya bukan pada sumber tapi pada cara penyampaian.
Selain adegan pembuka, adegan favorit saya
dan yang menurut saya menyampaikan cukup banyak emosi adalah ketika Wiji dan
temannya, Martin tengah mengantri di tukang cukur. Mereka terpaksa mengobrol
dengan seorang ABRI. Hanya saat itulah saya merasakan benar emosi yang
terpancar. Ketakutan Wiji akan bagian dari orde yang memburunya. Selain itu
sepanjang film yang berdurasi 97 menit ini saya berusaha lebih banyak menatap layar tanpa emosi.
Bahkan ketika adegan terakhir, saat Sipon
(Marissa Anita) istri Wiji Thukul menangis marah dan menjadi adegan penutup dalam
film, saya masih tak sanggup menangkap kebingungan yang harusnya dirasakan Sipon
ketika meneriakan “Saya cuma mau kamu ada.” Perasaan dilema seorang istri yang
bingung memilih apakah lebih baik suaminya yang buron terus bersembunyi tanpa
akhir, atau pulang ke rumah namun membuat bertindak layaknya tahanan rumah.
Bagi saya seharusnya film ini bisa menuntun
penonton untuk mengenal lebih baik sosok Wiji Thukul. Berinteraksi dengan
sajak-sajaknya, lalu terinspirasi untuk terus bicara meski dipaksa bungkam. Atau
menjadi ultimatum lantang kepada pemerintah dan inspirasi bahwa kata-kata tak
akan padam meski berusaha diredam oleh intimidasi. Selayaknya semangat yang
keluar dari seorang Wiji Thukul.
Film yang bernarasi dengan lirih ini bagi saya bisa lebih lantang lagi dan tak terlalu bermain dengan simbol dan kritik subtil di era di
mana seharusnya seorang sineas bisa berteriak banyak lewat karyanya kepada
generasi yang mungkin tak lagi paham betapa berharganya kebebasan berkata-kata.
( Foto: Courtesy of Instagram @istirahatlahkatakata )